Pada 12 Desember 2024, Pusaka Indonesia dan Yayasan Bakti Alam, yang mengelola Clungup Mangrove Conservation (CMC), melakukan penanaman 56 rumpun bambu di lahan seluas 1 hektar di Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang. Aksi ini dilaksanakan bekerja sama dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Sendang Biru.
Ide ini muncul dari pengelola CMC yang disambut oleh Pusaka Indonesia. Pusaka Indonesia sendiri, punya misi menciptakan hutan-hutan surgawi untuk mempertahankan sumber mata air dan melestarikan lingkungan. Setelah CMC mengusulkan program ini, Tim Pusaka Indonesia melakukan survei lokasi untuk merencanakan pelaksanaan program.
Baca juga: Pembukaan Hutan Surgawi Malang dengan Vegetasi Utama Bambu
Dusun Sendang Biru pada awalnya menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di sekitarnya. Kawasan ini memiliki kontur tanah pegunungan dengan batuan karst dan batu kapur, serta gua-gua yang saling terhubung. Berdasarkan penelitian dari mahasiswa Universitas Negeri Malang dan Komunitas Jonggring Saloka, air dari musim hujan masuk ke gua-gua ini, yang berperan penting dalam menjaga pasokan air.
Dusun Sendang Biru dibuka pada tahun 1925 setelah mendapat izin dari Pemerintah Belanda. Mata air yang disebut sendang di lokasi tersebut ditemukan oleh seorang tokoh masyarakat bernama Isai yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Satiti (Satiti adalah sebutan untuk anak pertama). Mata air yang ditemukan tersebut berwarna biru sehingga disebut Sendang Biru. Muaranya di pantai Clungup. Perencanaan pembangunan mata air ini dilaporkan kepada Pemerintah Hindia Belanda dan disetujui. Saat proses pembangunan, sebuah peta dibuat yang memperlihatkan mata air Sendang Biru dibuka dengan aliran mengarah ke barat.

Pembukaan Hutan Surgawi di Sendang Biru Malang
Ketika memulai pembukaan area, ditemukan lagi sumber mata air lain yang belakangan disebut Sendang Gambir. Awalnya Sendang Gambir disangka Sendang Biru, sehingga pembangunan mata air dimulai dari lokasi ini. Namun, ketika dicek, peta yang telah dibuat ternyata tidak sesuai sehingga pembukaan lahan dihentikan. Pada tahun 1927, pembangunan mata air di Sendang Biru dilanjutkan. Di kawasan tersebut kemudian terbentuk sebuah dusun yang diberi nama yang sama, yakni Dusun Sendang Biru. Sementara itu, Sendang Gambir tidak menjadi sumber mata air utama karena tidak ada instansi yang mengelola, hanya warga sekitar yang memanfaatkannya dengan swadaya mandiri. Air dari Sendang Gambir diupayakan ditarik ke rumah masing-masing dengan pompa air.
Sayangnya, kondisi sumber mata air ini mulai memburuk pada tahun 2000 akibat bencana banjir dan erosi yang membawa lumpur. Pembabatan liar dan kerusakan hutan sejak era reformasi diperkirakan menjadi penyebabnya. Akibatnya, pada musim hujan, mata air menjadi keruh, dan pada musim kemarau panjang, debit air menurun akibat pendangkalan. Untuk beberapa warga yang tinggal di daerah lebih tinggi, air untuk kebutuhan sehari-hari harus diambil dari sumber lain yang alirannya melalui pipa, namun seringkali jumlahnya tidak mencukupi, sehingga mereka harus membeli air bersih.
Baca juga: Mengapa Kita Perlu Membuat Hutan Surgawi Sekarang?
Dengan kondisi tersebut, CMC berupaya mengajak masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam konservasi tanah dan air. Sayangnya, kesadaran tentang pentingnya konservasi di kalangan warga setempat masih terbatas, terutama di kalangan pendatang yang lebih memilih hidup sebagai nelayan. Iswicahyo, pegiat CMC, berharap bahwa penanaman bambu di lahan-lahan kosong ini bisa membuka kesadaran masyarakat mengenai pentingnya tanaman bambu. Biasanya masyarakat desa baru tergerak ketika melihat ada hasil yang diperoleh. Karena itu, Iswicahyo berharap, ketika nanti pohon bambu sudah bisa dipanen dan ada penampung yang membeli hasil panen, maka semakin banyak lagi warga yang tertarik menanam bambu di lahan kosong mereka. “Dan semoga pembukaan Hutan Surgawi di Sendang Biru melalui penanaman bambu akan membuka wawasan masyarakat luas tentang betapa pentingnya tanaman bambu yang selama ini hanya dianggap sebagai tanaman yang mengotori ladang,” tambahnya.
Iswicahyo menuturkan, ketika kegiatan penanaman hutan bambu sebagai Hutan Surgawi di Sendang Biru, belum banyak warga yang ikut terlibat. Pada dasarnya mereka belum memiliki kesadaran tentang konservasi dan perbaikan lingkungan melalui pemulihan tanah. Hanya sebagian jemaat gereja yang ikut terlibat dikarenakan mendapat perintah langsung dari Penatua (koordinator bidang sektor gereja). Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga yang tertarik menanam bambu secara mandiri di lahan mereka. Mereka mulai menyadari manfaat bambu dan berharap bahwa hasil panen bambu akan ada yang menampungnya, sehingga upaya konservasi ini dapat terus berkembang.
Tim Penulis Pusaka Indonesia