Skip to main content

Abrasi bukan sekadar masalah alam. Abrasi adalah ancaman nyata yang setiap tahun terus menggerus garis pantai Indonesia—tanah tempat masyarakat pesisir menggantungkan hidup. Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Negara kepulauan ini memiliki lebih dari 99.000 kilometer garis pantai, namun sekitar 26 persennya kini dalam kondisi terancam abrasi. Jika tak segera ditangani, abrasi bisa merampas bukan hanya daratan, tapi juga masa depan.

Lantas, apa sebenarnya abrasi itu? Apa penyebabnya, dan bagaimana kita bisa mencegahnya? Berikut pemaparan menarik dan lengkap dari Saptoyo, Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Jawa Timur sekaligus Wakil Koordinator Akademi Bumi Lestari, Pusaka Indonesia, dalam siaran RRI Pro 1 Jakarta, Program Green Radio, yang disiarkan pertengahan April lalu. 

Baca juga: Hutan Bambu Malang Selatan, Menyelamatkan Mata Air dan Menularkan Semangat Konservasi

Apa itu Abrasi?

Menurut Saptoyo, abrasi adalah proses pengikisan daratan oleh air laut. Ombak yang terus-menerus menghantam, angin kencang, arus deras, dan naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim—semuanya berperan. Namun, abrasi juga bisa disebabkan oleh ulah manusia: reklamasi, penambangan pasir laut, dan pembangunan yang tak mempertimbangkan dampak jangka panjang.

“Bayangkan laut seperti air dalam piring. Jika kita menambahkan sesuatu, air akan mencari celah untuk tumpah. Reklamasi di satu kota bisa menimbulkan masalah di kota lain yang punya dataran lebih rapuh,” kata pria yang telah lama berkecimpung di dunia konservasi lewat wadah CMC (Clungup Mangrove Conservation) Tiga Warna di Malang Selatan.

Saptoyo menambahkan, ketika garis pantai menyusut, masyarakat kehilangan lahan pertanian, tambak, bahkan rumah. Anak-anak tak lagi punya halaman bermain. Petani dan nelayan kehilangan mata pencaharian. Akses ke sumber penghidupan makin sempit. “Kalau daratan hilang, harapan mereka pun ikut hilang,” lanjutnya.

Baca juga: Isu Kekeringan dan Upaya Membangun Ketahanan Air Indonesia

Saptoyo sedang menanam bibit mangrove di Pantai Sendangbiru

Apa yang Bisa Dilakukan?

Pemerintah tentunya punya peran besar. Dipaparkan oleh Saptoyo, terutama dalam membuat kebijakan reklamasi dan izin penambangan, perlu dikaji secara matang. Perubahan garis pantai bukanlah hal sepele, sebab dampaknya bisa menyebar ke berbagai daerah. Perlu ada kehati-hatian dan pendekatan berbasis ekosistem. “Misal, reklamasi yang dilakukan di Jakarta, belum tentu Jakarta yang akan merasakan dampaknya, tapi bisa kota lain yang letaknya jauh dari Jakarta,” jelas Saptoyo. 

Namun, masyarakat juga bisa turut menjaga. Salah satu cara paling efektif adalah menanam vegetasi pelindung seperti hutan mangrove, hutan pantai, padang lamun, dan menjaga terumbu karang. Mangrove—khususnya jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa—memiliki akar kuat yang saling mengunci, menciptakan benteng alami yang dapat menahan gempuran ombak. Ada juga jenis Api-api, dengan akar yang mengikuti naiknya air laut, membentuk pagar hidup yang fleksibel namun tangguh.

Di beberapa wilayah seperti Madura, lahan di tepi laut berstatus milik pribadi, sehingga pendekatannya tidak bisa seragam. Program reboisasi kadang tidak berhasil karena kurangnya pemahaman akan jenis tanah, kontur, atau vegetasi yang cocok. Menurut Saptoyo, Pusaka Indonesia sendiri sudah mendampingi masyarakat di berbagai daerah. Dengan semangat gotong royong, Saptoyo dan Pusaka Indonesia berhasil merehabilitasi 77,7 hektar hutan mangrove dan 35 hektar hutan pantai—dari tanah kosong menjadi kawasan hijau yang hidup. Di Malang, Pusaka Indonesia membangun “Hutan Surgawi” dengan vegetasi utama tanaman bambu, bersama CMC Tiga Warna dan gereja setempat. Semua dilakukan secara swadaya oleh para kader. 

Baca juga: Pembukaan Hutan Surgawi Malang dengan Vegetasi Utama Bambu

Gerakan Konservasi dan Warisan untuk Generasi Muda  

“Dampak dari kerusakan lingkungan hari ini mungkin baru akan terasa 20 tahun lagi,” ujar Saptoyo. Generasi muda memegang peran penting, karena mereka adalah motor perubahan. Konservasi yang diupayakan saat ini, juga menjadi persembahan untuk generasi muda. Sebab, hasilnya baru akan dirasakan oleh generasi mendatang, agar kita tidak mewarisi kehancuran, melainkan bumi yang lestari dan layak huni. Hal ini sesuai dengan visi Pusaka Indonesia, yakni mewujudkan Bumi Surgawi, tak lain sebuah ekosistem yang berjalan seimbang. “Manusia  bagian  dari  ekosistem, sehingga kita  punya  tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan tersebut,” pungkas Saptoyo. 

 

Ficky Yusrini
Kader Pusaka Indonesia wilayah Jawa Barat

Sumber foto: Dokumentasi Clungup Mangrove Conservation (CMC) Malang, Jawa Timur