Sistem pertanian anorganik yang bergantung pada pupuk dan pestisida kimia sintetis, memiliki dampak negatif yang serius terhadap keberlangsungan pertanian jangka panjang. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang menawarkan hasil yang instan. Akan tetapi, mengabaikan kebutuhan mikroorganisme tanah, seperti bakteri, jamur, dan cacing yang bergantung pada bahan organik untuk bisa hidup dan bekerja mengubah keragaman dan keseimbangan nutrisi alami tanah.
Jika tanah terus diberi pupuk kimia, maka populasi mikroorganisme yang membantu menyuburkan tanah akan menurun jumlahnya atau bahkan hilang sama sekali sehingga tidak ada yang membantu menyuburkan tanah. Dampak jangka panjangnya, tanah makin rusak karena unsur hara hilang. Selain itu, kondisi ini akan semakin menyebabkan ketergantungan pada pupuk kimia sintetis, dengan jumlah yang terus meningkat.
Bagaimana kondisi ini bisa terjadi? Pestisida kimia yang diharapkan dapat mengendalikan hama, ternyata bisa meresap ke dalam tanah. Pestisida kimia ini bisa mengurangi bahkan mematikan keanekaragaman ekosistem tanah yang secara alami memiliki kemampuan untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Jadi, cacing tanah yang memiliki kemampuan untuk menyuburkan tanah akan mati, begitu juga dengan jamur mikoriza yang membantu akar untuk menyerap air.
Baca juga: Menginisiasi Sawah Demplot Sigma Farming di Desa Pamoyanan sebagai Sentra Padi Organik
Kerusakan tanah ini tidak hanya mengancam produktivitas pertanian jangka panjang, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan. Contohnya, penggunaan pestisida yang tersisa di dalam tanah dapat mencemari sumber air tanah dan hasil produksi tanaman. Hal ini tentu mempengaruhi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, begitu juga dengan hewan yang bergantung pada sumber daya alam tersebut. Lebih jauh, penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang tidak terkendali dapat memperburuk struktur tanah sehingga menyebabkan erosi, serta penurunan daya serap air yang pada akhirnya mengarah pada degradasi lahan secara menyeluruh.
Pendekatan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menghindari kerusakan tanah yang lebih parah. Hal inilah yang didorong oleh Pusaka Indonesia melalui metode Sigma Farming. Kabid Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia, Niniek Febriany dan Kapten Sigma Farming Wilayah Jawa Tengah, Parjono memberikan edukasi tentang dampak penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis melalui siaran Green Radio RRI Pro 1 Jakarta pada Mei lalu. Parjono sendiri, merupakan salah seorang petani Kader Pusaka Indonesia yang punya pengalaman beralih ke sistem pertanian organik yang selaras dengan alam.
Niniek memberikan pengalamannya ketika turun ke desa-desa di tahun 2010. Ia melihat langsung kondisi tanah yang kritis, serta menyaksikan bagaimana petani bergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang menyebabkan tanah makin rusak dan hama semakin kebal terhadap pestisida. Akibatnya, petani terus menambah volume penggunaan pupuk dan pestisida kimia agar tanaman bisa tetap produktif dan hama tidak mengganggu tanaman. Hal ini tentu berdampak pada kebutuhan modal yang lebih banyak untuk membeli pupuk dan pestisida kimia. Namun, ternyata hasil pertanian yang didapat oleh petani tidak sebanding dengan pengeluaran modal. Hal ini menyebabkan petani harus berhutang lebih banyak yang akhirnya mereka kehilangan harapan.
Parjono menambahkan, kondisi tanah makin rusak karena petani sudah terbiasa menginginkan hasil panen yang instan sehingga penggunaan pupuk sintetis makin tidak terkendali. Dampaknya, kesuburan tanah lama-kelamaan makin turun dan menjadi keras ketika dicangkul. Selain itu, tanaman tidak bisa tumbuh jika tidak diberikan lebih banyak pupuk. Dengan pupuk kimia tersebut, tanaman seperti dipaksa untuk tumbuh dan berkembang. Berdasarkan pengalaman ini, Parjono kemudian mulai beralih ke pupuk organik dengan belajar secara otodidak. Ia juga melakukan riset dengan menggunakan kotoran hewan (kohe) serta belajar membuat kompos dengan menggunakan bahan-bahan dari dari tanaman di sekitarnya.

Kader Pusaka Jawa Timur membuat kompos Sigma Farming
Baca juga: Inovasi Baru dalam Pembuatan Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma Farming
Parjono menambahkan, hasil yang diperoleh setelah beralih dari penggunaan pupuk sintetis ke organik memang tidak bisa terlihat secara instan. “Membutuhkan perjuangan dan konsistensi selama 3 tahun untuk bisa melihat hasil panennya karena diawali dengan pemulihan tanah terlebih dahulu,” ungkap Parjono. Setelah proses peralihan itu, hasil produksi sawahnya bertambah secara bertahap. Begitu juga dengan hasil kebunnya, yaitu lada. Awalnya ketika ia menggunakan pupuk dan pestisida kimia, buah ladanya lebih kecil. Ketika menggunakan pupuk organik, butiran lada menjadi lebih besar. Aromanya juga jadi lebih kuat dan rasanya lebih pedas.
Niniek menyatakan bahwa menyelamatkan tanah tidak hanya bisa dilakukan dari desa, melainkan keterlibatan warga kota juga sangat dibutuhkan. Menurut Niniek, ada 3 cara yang bisa dilakukan oleh warga kota, sebagai berikut:
- Ikut mengompos limbah dapur untuk mengurangi sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) agar tidak menumpuk dan menyebabkan bau.
- Mulai berkebun di lahan sempit dan terbatas dengan membuat tabulampot (tanaman buah dalam pot) dan menanam di dinding.
Niniek menyampaikan bahwa kader Pusaka Indonesia banyak membuat bedengan kecil dan tabulampot di pekarangan atau teras rumah. Menanam 1 atau 2 terong dan cabai menjadi sangat membantu persediaan bumbu dan sayur di rumah. Dengan bertanam organik di rumah, tetangga bisa ikut serta, dan hal ini bisa berdampak domino ke tetangga lainnya. Hasil panennya pun berbeda karena tidak menggunakan pupuk sintetis. Hasil panen jadi lebih sehat, organik, berkualitas, dan yang paling penting tanah juga menjadi lebih sehat dan subur. - Mulai memilih makanan dari sumber organik dan lokal.
Memilih makanan organik dan lokal sangat membantu petani untuk lebih bersemangat untuk terus bertani dengan cara organik. Transisi penggunaan pupuk dan pestisida sintetis ke organik memerlukan waktu dan proses yang cukup panjang. “Jangan anggap kecil dampak pemilihan sumber makanan organik dan lokal karena dengan peduli akan hal tersebut, artinya kita ikut menyembuhkan sistem yang sudah rusak. Tanah sehat membutuhkan dukungan dari banyak orang, bukan hanya petani saja,” tambahnya.
Niniek menjelaskan bahwa Pusaka Indonesia telah membangun inisiatif pemulihan tanah dengan menyediakan ekosistem belajar lewat pengembangan sistem pertanian organik yang selaras alam dengan metode Sigma Farming. Melalui wadah pembelajaran Sigma Farming ini, semua petani yang ikut bergabung di dalamnya dapat belajar tentang pertanian organik, melakukan riset, dan saling berbagi tentang hal yang ditemukan setiap harinya di lahan masing-masing. Metode Sigma Farming yang dipelajari di antaranya berupa pembuatan kompos, pupuk organik cair, plantonik/vitamin untuk tanaman, pestisida nabati dari tanaman yang sangat selaras alam, dan serta belajar menanam tanaman lokal sebagai upaya membangun kesadaran ekologis.
Selain itu, Pusaka Indonesia juga telah menerbitkan sebuah buku berjudul Sigma Farming: ‘Formula Jenius untuk Pulihkan Tanah dan Pastikan Ketahanan Pangan’ yang membahas metode pertanian Sigma Farming ini secara lebih komprehensif. “Kader internal Pusaka Indonesia diajak untuk memiliki kesadaran tentang kenapa perlu menyayangi tanah. Pemulihan tanah tidak hanya tentang teknik bertani tetapi juga tentang membangun kembali hubungan manusia dengan Ibu Bumi karena ketika kita sayang dengan tanah maka kita akan semakin tulus merawat tanah dan tanaman,” pungkasnya.
Ni Kadek Ayu Rinawati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali dan Sekitarnya