Sigma Farming Academy (SFA) merupakan subbidang di bawah Divisi Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia yang fokus mengembangkan metode pertanian selaras alam, yang dikenal sebagai metode Sigma Farming.
Sejak Revolusi Hijau, praktik pertanian di Indonesia cenderung mengandalkan pupuk dan pestisida sintetis, menjauh dari pertanian organik yang ramah lingkungan. Hal ini telah menyebabkan kerusakan tanah. Melalui Sigma Farming, Pusaka Indonesia mengajak para petani untuk kembali memuliakan Ibu Bumi dengan meninggalkan kebiasaan penggunaan bahan-bahan kimia sintetis serta benih hasil rekayasa.
Sebagai upaya penyebaran pengetahuan ini, Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia menyelenggarakan workshop dan edukasi pertanian organik, baik secara langsung maupun melalui web dan media sosial Pusaka Indonesia. Salah satu workshop tersebut diselenggarakan pada 8–9 Juni 2025 lalu, di Griya Tirta Sari, Desa Sirnoboyo, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Kegiatan ini diikuti oleh para kader Pusaka Indonesia serta kelompok tani setempat, antara lain Kelompok Tani Marsudi Rejeki, Sedyo Makmur 1 dan 2, serta Ngudi Rejeki. Selama dua hari, peserta menerima materi yang disampaikan oleh Koordinator SFA, Ni Kadek Dwi Noviyani (Novi), bersama tim: Parjono, Fathul Hadi, dan Diah Arnila.
Pada hari pertama, peserta dikenalkan pada dasar-dasar Sigma Farming dan pembuatan amunisi pertanian, seperti Kompos Sigma 2, Asam Amino, serta Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma 1 dan 2. Hari kedua dilanjutkan dengan materi pembuatan Liquid Manure, Eco Enzyme, Plant Tonic, Pestisida Nabati, dan Fungisida Nabati.

Praktik membuat Bakteri Pemulih Tanah Sigma 1 – Workshop Sigma Farming Wonogiri
Kegiatan berlangsung dengan antusias dan penuh keceriaan. Humor ringan dan kuis berhadiah disisipkan di sela sesi diskusi dan praktik, membuat suasana semakin hidup. Semua peserta mengikuti kegiatan secara penuh selama dua hari. “Peserta workshop, terutama yang bukan kader Pusaka Indonesia, sangat antusias. Itu yang membuat saya semakin semangat membagikan pengetahuan Sigma Farming,” ungkap Novi. Ia juga menambahkan bahwa materi yang disampaikan berasal dari pengalaman autentik para fasilitator, sehingga lebih mudah dipahami peserta. Novi menambahkan, ia berharap, para peserta bisa menerapkan metode ini di lahan mereka masing-masing.
Beberapa peserta mengungkapkan bahwa workshop ini sangat bermanfaat, membuka wawasan baru, dan memotivasi mereka untuk mulai beralih ke pertanian organik. Yulius Ngatno (70), Ketua Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Desa Sirnoboyo, menuturkan bahwa selama ini pupuk organik dianggap mahal karena harus dibeli. Namun, melalui pelatihan ini, ia menyadari bahwa bahan-bahan untuk membuatnya sebenarnya tersedia di sekitar lingkungan, sehingga lebih murah dan berkelanjutan.
Yesi (36), peserta lainnya, menambahkan, “Hal yang masih menjadi PR bagi kami sekarang adalah menumbuhkan niat dan kemauan masyarakat. Memang butuh waktu dan kesabaran, tapi jika dikerjakan secara konsisten, hasilnya pasti terlihat.”
Niniek Pebriany, Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia, berharap agar kegiatan ini tidak berhenti hanya pada workshop saja, tetapi ke depannya, Pusaka Indonesia dapat terus menjalin kolaborasi dengan Gapoktan di Desa Sirnoboyo.
Metode pertanian Sigma Farming memang bukanlah solusi instan. Dibutuhkan kerja keras dan ketulusan untuk memulihkan kesuburan tanah yang telah rusak oleh bahan kimia selama puluhan tahun. Namun, seiring waktu, dengan kembalinya mikroorganisme tanah yang mampu membantu kesuburan serta pertumbuhan tanaman, maka produktivitas lahan akan meningkat secara perlahan dan berkelanjutan.
Baca juga: Menuju Kemandirian Pupuk Organik
Diah Arnila
Kader Pusaka Indonesia Bali dan Sekitarnya