Skip to main content

Karakter manusia yang ideal sebenarnya sudah tertuang dalam Pancasila, yang menjadi landasan Bangsa Indonesia dalam bernegara. Manusia Pancasila, idealnya adalah manusia yang berketuhanan, saling mengasihi sesama, menghargai perbedaan, mengedepankan musyawarah untuk mengambil keputusan, serta menjunjung tinggi prinsip berkeadilan. Semua itu dibutuhkan sebagai fondasi dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan manusia-manusia yang memiliki sikap disiplin, tangguh, memiliki ketulusan, dan cinta tanah air.

Nilai-nilai luhur yang tertuang dalam Pancasila selayaknya menjadi acuan dalam menggerakkan organisasi atau komunitas, baik yang berorientasi profit maupun organisasi sosial atau nirlaba. Sebagai upaya untuk mengobarkan kembali semangat Pancasila, Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia, Eko Nugroho, memaparkan pandangannya lewat Obrolan Komunitas yang disiarkan oleh RRI Jakarta dengan tajuk ‘Character Building untuk Organisasi Sosial’

Pusaka Indonesia, adalah sebuah perkumpulan kebangsaan yang didirikan oleh Setyo Hajar Dewantoro (SHD). Komunitas ini dibentuk sebagai wadah untuk menggembleng sumber daya manusia yang memiliki karakter luhur sesuai nilai-nilai Pancasila, yaitu ketulusan, loyalitas, disiplin, tangguh dan memiliki rasa cinta terhadap tanah air Indonesia. 

Eko mengawali pemaparannya dengan mengingatkan pentingnya pembangunan karakter manusia. Hingga 80 tahun usia kemerdekaannya, Indonesia masih jauh dari harapan tercapainya pembangunan yang makmur dan berkeadilan. Berita-berita yang banyak berseliweran di media adalah kabar tentang korupsi, pembalakan hutan di Kalimantan, penggundulan hutan di Papua, bahkan kebijakan di bidang kesehatan yang tidak memberdayakan warga untuk bisa mandiri.

Baca juga: Membangun Karakter bersama Sigma Leadership

Untuk itulah, Pusaka Indonesia ingin membangun kembali karakter Pancasila yang seharusnya dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Membangun karakter di Pusaka Indonesia dimulai dari teladan yang diberikan oleh Ketua Umum. Setiap gerakan yang dilakukan para kader harus dilandasi oleh ketulusan, kolaborasi, dan gotong-royong. Selain itu kemandirian dalam hal pendanaan juga diterapkan di setiap program yang dikerjakan.  Menurut Eko, proses pembentukan karakter luhur tersebut tidaklah mudah. “Sebagai komunitas berbasis sosial, Pusaka Indonesia tidak menawarkan gaji sebagai imbalan kepada para kader yang berkiprah di dalamnya,” jelasnya.

Menjalankan Strategi Trisakti

Pusaka Indonesia juga menerapkan Trisakti yang dicetuskan oleh Bung Karno, yakni berbudaya sesuai jati diri, berdaulat secara politik, dan mandiri secara ekonomi. Semua kader Pusaka Indonesia dari berbagai kalangan bisa berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing, tanpa memandang status sosial. Di sinilah tercipta kolaborasi dan gotong-royong dalam menyangga tercapainya program kerja yang telah ditetapkan. 

Salah satu contohnya adalah dalam kegiatan pembuatan Eco Enzyme. Semuanya dilakukan dengan bekerjasama, datang tepat waktu, dan saling menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman satu sama lain. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila tidak sekadar konsep, namun diterapkan dalam budaya berorganisasi. Contoh sederhana yang dibangun di Pusaka Indonesia ini, menunjukkan bahwa manusia Indonesia sebenarnya bisa mengamalkan Pancasila secara utuh.

Menurut Eko, para Kader Pusaka Indonesia percaya bahwa untuk mewujudkan Indonesia yang jaya, yang prioritas untuk dibenahi adalah manusianya. Jika sumber daya manusia tidak memadai, maka sistem secanggih apa pun tidak akan berguna. “Hal ini dikarenakan yang mengendalikan atau yang bekerja di balik sistem adalah manusia itu sendiri,” jelas Eko.

Baca juga: Menjadikan Pancasila Sebagai Way of Life

Lalu, adakah peran refleksi diri dan spiritualitas dalam memperkuat karakter sebagai aktivis sosial? Eko Nugroho menjawab bahwa untuk memiliki karakter yang kuat, seseorang harus mempunyai nilai-nilai spiritual yang baik. Sesuai sila pertama Pancasila, mengenal Tuhan itu sangat penting dalam membangun karakter. Kalau ingat Tuhan, maka terhindar untuk melakukan yang tidak baik. Sedangkan dengan berefleksi, kita memastikan bahwa kita sudah melakukan hal yang benar dalam keseharian. “Kita jadikan Pancasila tidak hanya sebagai slogan, tapi menjadi gaya hidup, suluh dalam bergerak, berkata, bertindak sesuai dengan Pancasila,” pungkas Eko.

 

Ata Astuti
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten