Skip to main content

Sering kita mendengar perusahaan bernama “Blackrock” memiliki saham di mana-mana di AS. Bahkan membantu negara-negara berkembang dalam mengatur hutan-hutangnya. Tapi sebenarnya, bagaimana Blackrock beroperasi? Sebuah video di Youtube ini dengan mudah menjelaskan bagaimana Blackrock melakukan pekerjaannya dan selalu lolos dari jeratan hukum. Blackrock tidak sendirian, ada 2 lagi perusahaan bernama Vanguard dan State Street. Mereka disebut sebagai “The Big 3”.

Pada prinsipnya Blackrock adalah perusahaan Asset Management. Perusahaan yang mengelola uang agar uang tersebut nilainya bertambah di pasar modal. Berbeda dengan perusahaan asset management lainnya, Blackrock tidak melakukan penjualan dan pembelian saham secara aktif setiap harinya. Blackrock membeli semua saham yang masuk dalam indeks di bursa saham. Index bursa saham adalah saham-saham yang dianggap mewakili keseluruhan pasar saham yang menentukan naik atau turunnya pasar saham. Jadi kalau kita mendengar Dow-Index saham di NY Stock Exchange (Bursa Saham New York) sedang naik, itu artinya sebagian besar saham-saham dalam index ini sedang naik (tentunya tidak selalu semuanya ikut naik). Nah, Blackrock memiliki semua saham dalam index ini, yang disebut dengan istilah Mutual Fund atau  ETF (Exchange Traded Fund). ETF ini jadi menarik dijual oleh Blackrock karena resikonya kecil (mengikuti pasar yang cenderung naik dalam jangka panjang), tingkat pengembalian (return) yang relatif konsisten dan lebih murah untuk asset manager karena tidak perlu mengawasi pergerakan saham setiap perusahaan. 

Pembelian semua saham index pasar saham atau semua saham dengan porsi yang kecil di setiap perusahaan disebut dengan “passive investing” (investasi pasif). Larry Finch, CEO Blackrock menjelaskan Blackrock tidak bisa menjual saham di satu perusahaan yang masuk index kerena itu akan berpengaruh ke saham lainnya di bursa saham yang dimilikinya juga. 

Blackrock mendapat dana dari investor institusi seperti perusahaan dana pensiun, perusahaan asuransi, dana abadi universitas, dll. Tentunya investor institusi ini mendapat dananya dari rakyat jelata yang menyerahkan dananya ke perusahaan dana pensiun, perusahaan asuransi melalui premi asuransi yang dibayarkan, 401 owner (kalau di Indonesia adalah dana BPJS Ketenagakerjaan yang dipotong dari karyawan), uang sekolah, yang intinya adalah dana dari rakyat jelata. 

Benjamin Braun, asisten profesor London School of Economic banyak menulis tentang peran assset manager dan hubungannya dengan ekonomi dan masyarakat menjelaskan bahwa keuntungan perusahaan seperti Blackrock bukan dari fee kenaikan hasil investasi tapi dari fixed-based fee. Blackrock mendapat penambahan keuntungan dari penambahan klien baru atau bertambahnya aset yang dikelola. Menurut Braun, apa yang dilakukan Blackrock, Vanguard, dan State Street disebut dengan “Universal Ownership” (kepemilikian universal). The Big 3 ini memiliki semua saham yang masuk index bursa saham dengan kepemilikan di setiap perusahaannya relatif kecil. Blackrock memiliki 3-10% saham Google, Apple, Meta, Exxon, Amazon, Microsoft. Kelihatannya tidak besar, tapi jelas kalau dijual bersamaan, akan mengakibatkan pasar saham jeblok. Braun menjelaskan bahwa kepemilikan 5% saham sudah bisa memiliki suara relatif sangat besar (kalau tidak terbesar) yang tentunya mempengaruhi suara di rapat dewan komissaris. 

Amazon contohnya dimiliki oleh Blackrock (5,8%), Vanguard (6,9%) dan State Street (3,3%) atau total 16%. Sementara foundernya Jeff Bezos hanya memiliki 9%. Jelas bertiga adalah pemegang saham terbesar yang bisa mengalahkan suara foundernya. Braun menjelaskan, secara teori, universal ownership berarti investor akan sabar menunggu keuntungan dalam jangka panjang, dalam prakteknya tidak begitu. Dari studi pada tahun 2017, hampir semua saran dari eksekutif perusahaan diikuti oleh investor pasif ini. Dulu eksekutif perusahaan lebih suka membelanjakan keuntungan dengan memiliki pesawat jet pribadi perusahaan, kantor yang mewah dan kadang-kadang dibagi ke karyawan 😁. Dalam perkembangannya, kompensasi eksekutif diberikan dalam bentuk stock option atau saham (atau setara saham) yang nilainya (bonusnya) meningkat bila harga saham perusahaannya meningkat. Sehingga, perilaku eksekutif perusahaan atau bahkan sampai level manajer akan sama dengan kepentingan manajer investasinya: memaksimalkan harga saham. Jadi tidak heran ada eksekutif menahan kenaikan gaji karyawannya agar laba perusahaan meningkat dan kemudian karena harga saham naik maka meningkat juga bonusnya. Sementara karyawan “cungpret” (kacung kampret/karyawan biasa) tidak kebagian apa-apa.

Lebih mengejutkan lagi, kepemilikan rumah tangga di pasar saham turun dengan drastis. Pada tahun 1945, rumah tangga memiliki 95% pasar saham. Tahun 2020, rumah tangga hanya memiliki 40% pasar saham. Dan separo dari 40% itu dimiliki 10% orang kaya di AS. Artinya rumah tangga AS hanya menguasai 20% pasar saham. 

Data lain menunjukkan kategori kepemilikan “equity and mutual fund” di AS.  1% orang paling kaya di AS memiliki 50%, 10% orang terkaya memiliki 86%. Sedihnya 50% rakyat jelata AS hanya memiliki kurang lebih 2%. Jadi ini sudah tidak tepat lagi menyebutkan apa yang baik bagi pasar modal AS adalah baik untuk rakyat AS, karena kepemilikan pasar modal rakyat jelata AS sangatlah kecil. 

“Universal ownership” juga menghambat persaingan yang sehat. Bagaimana Pepsi akan bersaing dengan Coca Cola kalau pemegang sahamnya sama? Berlaku juga dengan 5 maskapi penerbangan terbesar atau bank-bank terbesar di AS yang pemiliknya itu-itu saja. Kita tahu persaingan yang sehat menghasilkan pilihan yang terbaik untuk konsumen (rakyat jelata). Dengan tidak ada persaingan yang sehat, konsumen harus membayar harga yang mahal karena tidak punya pilihan lain. 

Bagamana Blackrock bisa lolos dari jeratan hukum? Menurut laporan ini, Blackrock memiliki hubungan yang sangat baik dengan hampir semua institusi regulasi AS maupun dunia. Blackrock seperti punya “revolving door” (pintu putar yang didorong saja sudah kebuka) dengan pemerintah AS (Kementrian Keuangan, Bank Sentral, EU, dll) selain dengan IMF dan tentunya WEF (World Economic Forum). Sejak tahun 2014, Blackrock telah memperkerjakan paling sedikit 84 eks pejabat pemerintah, regulator, dan bank sentral secara global (tidak hanya di AS). Larry Finch (CEO Blackrock) sendiri saat ini duduk  di kursi Dewan Komisi Hubungan Internasional WEF dan pernah hampir menjadi menteri keuangan calon presiden Hillary Clinton (2016). Untung Hillary kalah dengan Trump. Blackrock dengan kekuatan politiknya lolos juga dari pengetatan regulasi yang diterapkan ke institusi besar lainnya setelah krisis keuangan tahun 2008. Lubang hukum yang dipakai Blackrock untuk bisa menguasai semua saham indeks di bursa adalah “passive investing” yang artinya tidak bisa secara aktif mempengaruhi keputusan perusahaan tidak ada yang mengawasi hal ini. Lucunya, Blackrock cukup hanya membuat pernyataan tahunan bahwa telah melakukan hal-hal yang diwajibkan dalam kriteria “passive investing”. Artinya tidak ada yang mengawasi Blackrock apakah benar-benar telah mengikuti aturan hukum. Ibarat mereka melaporkan pajak, tapi mereka sendiri yang melakukan audit pajak. 

Yang paling mengejutkan adalah ternyata pemilik terbesar Blackrock, Vanguard, dan State Street adalah mereka-mereka sendiri. Pemiliki terbesar Blackrock adalah Vanguard dan State Street. Pemilik terbesar Vanguard adalah Blackrock dan State Street. Pemilik terbesar State Street adalah Blackrock dan Vanguard. Karena pemain besar adalah mereka-mereka sendiri maka mereka tidak mungkin kalah karena mereka bersaing di antara mereka sendiri. 

Sistem demokrasi pemegang saham lama telah berubah menjadi oligarki pemegang saham. Mereka yang punya kekuasaan (uang) menentukan arah dikemanakan uang rakyat jelata demi kepentingan penguasa, tidak lagi kepentingan rakyat jelata. “Universal ownership” juga membunuh persaingan sehat. Persaingan sehat meningkatkan kreatifitas dan inovasi baru yang seharusnya menghasilkan barang/jasa yang lebih murah untuk rakyat jelata. Universal ownership mirip seperti monopoli industri di mana harga diatur bersama untuk kepentingan peserta peserta monopoli. 

Apakah Blackrock, Vanguard, dan State Street hanya masuk di bursa saham AS? Ternyata tidak, Blackrock juga aktif membeli saham-saham perusahaan di BEJ (Bursa Efek Jakarta). Dengan pola yang sama, membeli sedikit tapi banyak jenis saham yang dibeli. Saham-saham Bank besar Indonesia yang pernah dimiliki oleh “The Big 3” adalah BCA, BNI, BRI, dan Mandiri (Bloomberg, 16 Mar 2024). Saham WIKA juga dibeli oleh Blackrock dan State Street (Bisnis.Com, 8 Sep 2024). Blackrock dikabarkan juga membeli saham perusahaan tambang Batubara seperti: PT Indika Energy Tbk. (INDY), PT Bukit Asam Tbk. (PTBA), PT Harum Energy Tbk. (HRUM), dan PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) (Intervest, Jan 30, 2024). Hanya memang mereka masih berlaku seperti perusahaan Asset Management lainnya yang membeli dan menjual saham dalam jangka pendek di BEJ.

 

Eko Nugroho,
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia

 

Sumber foto: youtube.com