Skip to main content

Beberapa waktu yang lalu, perhatian penulis tertuju pada satu berkas yang dikirimkan di salah satu Whatsapp Group kantor yang berjudul Indonesia Blue Economy Roadmap, suatu kajian strategis yang dibuat oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penulis membaca sekilas untuk mengetahui apakah itu Blue Economy yang tertera di kajian strategis ini. Keesokan harinya, penulis membaca kembali tentang Joint Statement dan Memorandum of Understanding of Blue Economy antara Pemerintah Indonesia dan China yang ditandatangani oleh Bapak Airlangga Hartarto sebagai Menko Ekuin dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China. 

Dua hari berturut-turut membaca tentang Blue Economy, membuat penulis semakin penasaran dan bertanya-tanya apakah pengertian Blue Economy ini.

Blue Economy mengandung banyak konteks tentang pembangunan kemaritiman yang memang sangat sesuai dengan landskap negara kelautan Indonesia. Blue Economy (Ekonomi Biru) adalah semua aktivitas ekonomi yang berhubungan dengan samudera, laut, dan pesisir. Termasuk di dalamnya tentang energi kelautan terbarukan, transportasi, perikanan, pariwisata bahari, dan juga tentang pembangunan ekosistem laut dengan segala inovasinya. 

Melihat ke belakang, istilah Blue Economy pertama kali dikenalkan oleh Gunter Pauli melalui bukunya “The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs” (2010) ’. Gunter Pauli ini adalah seorang pengusaha sekaligus ekonom yang lahir di Antwerp Belgia tahun 1956.  

Terdapat tiga pilar yang ditawarkan dalam Blue Economy. Pilar yang saling terhubung ini yaitu Pilar Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Blue Economy mencari keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesetimbangan sosial seperti pengurangan tingkat kemiskinan, penambahan tenaga kerja, dan juga pemeliharaan lingkungan. 

Indonesia sebagai negara kelautan yang 65% wilayahnya terdiri atas wilayah laut, sudah tentu harus mendayagunakan potensi kelautan yang ada untuk memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Sekaligus menjalankan tanggung jawab untuk menjaga ekosistem laut agar tercipta keseimbangannya secara alami. 

Antri Penimbangan Ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sedangbiru

Mengingat  sumber daya alam kelautan Indonesia yang melimpah, namun masih jauh sekali tergali potensinya, Pemerintah Indonesia memerlukan suatu roadmap yang jelas untuk memetakan semua potensi kelautan yang ada. Roadmap juga diperlukan untuk menavigasi permasalahan kelautan dalam negeri. Seperti hasil-hasil laut yang belum didayagunakan secara maksimal karena berbagai kendala baik di teknologi maupun pendanaan. Dari sektor perekonomian, tingkat kesejahteraan hidup para nelayan yang masih jauh dari kemakmuran. Dalam hal konservasi laut, memperlihatkan kondisi kelautan Indonesia yang mengalami banyak sekali kerusakan dan degradasi ekosistem laut. Serta sektor pariwisata, merupakan sektor yang potensial untuk berkembang, namun menghadapi beberapa tantangan, di antaranya polusi, fasilitas dan aksesibilitas, dan beberapa permasalahan lainnya.

Indonesia Blue Economy Roadmap atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia, menetapkan jalur menuju ekonomi maritim yang beragam dan berkelanjutan. Basisnya adalah pada upaya memastikan kesehatan dan ketahanan ekosistem laut, serta untuk mengamankan manfaat bagi generasi saat ini dan mendatang. Peta jalan ini memberikan panduan tentang bagaimana Ekonomi Biru dapat meningkatkan produktivitas dan berkontribusi pada transformasi ekonomi menuju Visi Indonesia 2045.

Pendekatan tiga pilar Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, juga tertuang dalam kajian Indonesia Blue Economy Roadmap yang dibuat oleh Bappenas yang mencakup tiga sasaran utama, yaitu (1) Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor maritim; (2) Jumlah lapangan kerja di bidang maritim; dan (3) Persentase lingkungan laut Indonesia yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). 

Namun, tentunya membangun pilar-pilar dalam Ekonomi Biru ini akan menghadapi berbagai tantangan karena transisi menuju pembangunan Ekonomi Biru yang berkelanjutan memerlukan investasi yang besar dalam hal inovasi teknologi. Oleh karena itu, sehubungan dengan MoU kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah China, terlepas dari segala kontroversinya, kita memang memerlukan investasi pendanaan dan transfer teknologi dari negara lain, dalam hal ini negara China yang memang sudah jauh lebih maju di industri maritimnya. Hal ini diperlukan agar pemerintah kita mulai membangun ekosistem ekonomi kelautan yang lebih canggih dan membawa manfaat berkelanjutan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Mari kita kawal dan dukung segala usaha peningkatan pendayagunaan potensi ekonomi maritim Indonesia yang transparan dan berintegritas. 

 

Virine T. Sundari
Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia

 

Sumber foto: adycandra.com