Awal tahun 2025, Indonesia kembali diguncang skeptisisme. Berita-berita yang beredar sarat akan informasi yang mencemaskan. Maraknya tagar #KaburAjaDulu dan kampanye “Indonesia Gelap” merebak dengan cepat di ranah media online, menjadi katalisator bagi skeptisisme di masyarakat. Terlepas dari motifnya, satu hal yang pasti: bangsa Indonesia sedang diarahkan hidup dalam kekhawatiran.
Sejumlah kebijakan pemerintah yang kontroversial turut memperburuk skeptisisme terhadap masa depan negara ini. Alih-alih memajukan Indonesia dan mendorong kesejahteraan rakyat, kebijakan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak baik di permukaan, namun dampaknya belum terasa secara nyata dan berkelanjutan. Akibatnya, muncul kesan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Namun, haruskah kita larut dalam arus kekhawatiran? Ataukah masih ada ruang untuk optimisme dan perubahan?
Pertanyaan ini dibahas secara mendalam dalam Kajian Pusaka Indonesia bertajuk “Membaca Indonesia: Kita Harus Pesimis atau Boleh Optimis?” yang diselenggarakan pada Sabtu, 22 Februari 2025, di Auditorium Jusuf Ronodipuro, Radio Republik Indonesia, Jakarta. Dari kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kita bisa tetap optimis dalam menghadapi kondisi yang tidak ideal saat ini. Berbagai sudut pandang, mulai dari historis, politik, ekonomi, global, hingga spiritualitas, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara besar yang memiliki peluang untuk bangkit dan berkembang lebih baik lagi.
Namun, optimisme ini bukan sekadar harapan kosong. Optimisme harus menjadi landasan untuk bertindak dengan tepat, bukan secara gegabah atau emosional. Ada dua alasan utama mengapa kita harus tetap optimis.
Pertama, pola pembentukan narasi ketakutan bukanlah hal baru.
Fenomena yang menciptakan ketakutan massal pernah terjadi sebelumnya, seperti saat plandemi COVID-19. Ketika itu, opini publik dikendalikan secara sistematis sehingga masyarakat bertindak sesuai dengan skenario yang telah dirancang.
Salah satu contoh nyata adalah kebijakan vaksinasi yang ternyata lebih menguntungkan pihak tertentu daripada benar-benar melindungi masyarakat. Kebohongan terkait pandemi ini, termasuk peran Dr. Fauci, baru terbongkar pada tahun 2024.
Meskipun berbeda konteks, fenomena tagar #KaburAjaDulu dan kampanye “Indonesia Gelap” memiliki pola serupa. Narasi ketakutan diciptakan untuk membangun pesimisme yang berlebihan, menjauhkan masyarakat dari semangat membangun negeri, dan mengarahkan opini publik ke jalur yang semakin menjauh dari keselarasan dengan jati diri bangsa dan kemajuan NKRI. Pengalaman ini seharusnya menjadi pembelajaran: apakah kita akan kembali terjebak dalam pola serupa atau memilih untuk tetap berpikir kritis dan bertindak dengan bijak?
Kedua, Indonesia sejatinya adalah bangsa yang besar.
Jika kita melihat sejarah, Kerajaan Majapahit menjadi bukti bahwa Nusantara pernah mencapai puncak kejayaan dalam stabilitas politik, kemajuan ekonomi, teknologi, seni, dan spiritualitas. Hal ini pernah dibahas secara mendalam dalam Sarasehan Pusaka Indonesia bertajuk “Kejayaan Majapahit: Mitos atau Fakta?” pada 19 Oktober 2024. Spirit kejayaan ini seharusnya merupakan karakter kunci atau DNA dari bangsa Indonesia.
Selain itu, banyak negara yang berhasil bangkit di tengah krisis. Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro, menyoroti beberapa pemimpin dunia yang berhasil membawa perubahan besar bagi negaranya, seperti Vladimir Putin di Rusia dan Donald Trump di Amerika Serikat.
Di bawah kepemimpinan Vladimir Putin, Rusia berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga 11 kali lipat, menurunkan inflasi hingga 10 kali lipat, dan menurunkan utang negara sebesar 4 kali lipat selama 24 tahun (1999-2023). Sementara itu, Donald Trump bersama Elon Musk mengambil langkah untuk menghentikan pendanaan negara dalam kebijakan vaksinasi yang dianggap bertentangan dengan kebebasan individu.
Jika negara-negara besar ini bisa bangkit dan berani mendobrak tata kelola dunia yang notabene sarat akan ketidakadilan, Indonesia tentu juga bisa. Masalah seperti kemiskinan, korupsi, dan pengangguran bukanlah tantangan yang mustahil untuk diatasi, apalagi Indonesia tidak menghadapi konflik global seperti Rusia dan Amerika Serikat.
Apa yang bisa kita lakukan?
Menjawab pertanyaan ini, Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro menegaskan bahwa yang paling krusial adalah hening, beraksi, dan mencipta mahakarya. Hening tanpa aksi tentu tidak akan menciptakan perubahan. Sebaliknya, aksi tanpa keheningan belum tentu menciptakan perubahan yang selaras. Tanpa keheningan, aksi-aksi perubahan sangat rentan ditunggangi oleh ambisi dan kemarahan karena kekecewaan dengan sistem yang berjalan saat ini.
Dengan demikian, tidak heran jika ujung-ujungnya hanya skeptisisme yang berkembang sebagai buah dari kekecewaan sehingga menghasilkan kekhawatiran. Seruan untuk kabur dari Indonesia, seolah-olah menjadi opsi ideal. Padahal, hidup di luar negeri juga belum tentu membawa perubahan yang lebih baik bagi yang bersangkutan, bahkan bisa jadi sebaliknya.
Justru, dengan tetap berkontribusi sesuai talenta masing-masing, kita bisa menciptakan mahakarya nyata untuk membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah.
Baca juga: Jangan Pernah Berhenti Mencintai Indonesia
Made Diangga Adika Karang
Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Pusaka Indonesia
Referensi:
Trump orders end to federal funding for schools that require Covid vaccines https://www.nbcnews.com/politics/white-house/trump-orders-end-funding-schools-require-covid-vaccines-rcna192274