Dari ujung Sumatera hingga Papua, wastra Indonesia memiliki keragaman luar biasa dengan cerita unik dan menarik di balik pembuatannya. Banyaknya suku yang tersebar di berbagai pulau membuat setiap kain memiliki ciri khas masing-masing dengan teknik pembuatan yang berbeda-beda pula. Untuk itu kita patut bangga dengan kekayaan dan keragaman wastra yang ada di Indonesia.
Dalam siaran Obrolan Komunitas di RRI Pro 1 Jakarta pada 7 Maret 2025 lalu, pakar wastra Sri Sintasari Iskandar atau akrab disapa Bu Neneng, bercerita tentang kekayaan wastra Indonesia. Neneng menyampaikan bahwa wastra mencakup semua kain tradisional milik Indonesia. Wastra merupakan bahasa Sanskerta yang artinya kain. Meski demikian, wastra tidak sekedar kain yang dibuat secara tradisional tetapi juga berkaitan dengan tradisi daerah tertentu. Di beberapa daerah misalnya, Wastra berkaitan dengan daur hidup manusia: mulai dari menikah, hamil, dan melahirkan.
“Tiap daerah punya motif dan ragam hias masing-masing dan terkait dengan ritual dari daerah tersebut,” ungkap Neneng.
Di kesempatan tersebut, Neneng kembali menyampaikan pentingnya melestarikan budaya wastra Nusantara. Dalam pembuatan wastra ada banyak tahapan yang harus dilalui dan selalu berkembang dalam berbagai bentuk, ragam hias, motif, dan warna yang cantik. Teknik yang banyak dilakukan di Jawa adalah membatik, sedangkan di luar pulau Jawa ada tenun yang menjadi unggulan, seperti tenun songket, tenun ikat, tenun ikat ganda, serta wastra sulam. Ada juga teknik ikat celup atau jumputan yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai teknik tie dye.
“Kita harus bangga bahwa di dalam teknik tenun ikat ganda ada wastra Gringsing yang hanya ada di Bali. Yang bisa membuatnya hanya Indonesia, Jepang, dan India,” tutur Neneng. Sehelai kain wastra Gringsing dikerjakan selama 1-5 tahun karena kain tersebut sangat sakral dan dipakai untuk upacara potong gigi.
Proses pembuatan wastra Gringsing dimulai dari benangnya yang ditanam sendiri, kemudian kapas dipintal, dan untuk memberikan warna harus dilakukan di daerah lain atau di desa lain. Proses memintalnya juga dilakukan di desa yang berbeda dan proses ini merupakan tahapan yang harus dilakukan. Para pengrajin wastra Gringsing tidak mau mengubah cara pembuatannya karena kain tersebut dianggap sangat sakral. Kain yang indah dan teknik pembuatannya yang tidak mudah membuat wastra Gringsing bernilai tinggi.
Selanjutnya, wastra juga memiliki keunikan akibat adanya pengaruh budaya lain sehingga memunculkan motif yang semakin beragam. Neneng mencontohkan ragam motif pada batik. Kain batik di Jawa umumnya dikategorikan dalam dua kelompok yaitu batik Keraton dan batik di luar Keraton. Dulu, batik Keraton hanya boleh dipakai oleh keluarga Keraton. Sementara itu di luar keraton ada batik Sudagaran. Menurut Neneng, Batik Sudagaran lebih bagus dan sangat beragam karena ada pengaruh budaya dari luar seperti pedagang dari Tiongkok, India, dan lain-lain yang membawa keramik, sehingga motifnya menjadi inspirasi bagi para pembatik pada batik yang mereka buat.
Wastra Nusantara tak lepas dari tradisi tiap daerah, digunakan pada momen-momen tertentu yang dianggap sakral dan spesial, misalnya perkawinan, pengangkatan sebagai kepala suku, dan sebagainya. Neneng juga bercerita bahwa sebagian wastra kini tidak lagi diproduksi, misalnya wastra Kalimbu Gambara Subi dari daerah tanjung Bira – Sulawesi Selatan. Keistimewaan wastra ini adalah ukuran besar, warna cantik, serta menggunakan teknik tenun pakan tambahan dalam pembuatannya. Kain Kalimbu Gambara Subi memiliki cerita unik dimana kain ditenun untuk menyambut kelahiran anak dan digunakan semasa anak tersebut hidup. “Kalau anak ini meninggal, kain ini ditutup, tidak boleh dibuka lagi, atau tidak boleh dikeluarkan lagi,” tutur Neneng.
Mengakhiri obrolan komunitas malam itu, Neneng berpesan agar wastra yang dibuat dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa bisa digemari dan dicintai oleh generasi muda. Menurutnya, banyak anak muda tidak tahu tentang wastra karena tidak ada informasi yang diberikan kepada mereka. Padahal dengan mengetahui cara membuat wastra mereka akan lebih menghargai warisan budaya Nusantara ini.
Mengenal warisan wastra Indonesia dengan lebih mendalam bisa dimulai dari diri sendiri. Pada 12 April 2025 mendatang, Pusaka Indonesia akan kembali menggelar Talkshow Wastra dengan tema “Pengetahuan Dasar Membatik, Ragam Hias, dan Filosofinya.” Kegiatan akan dipandu oleh pakar wastra Sri Sintasari Iskandar dan Benny Gratha. Acara ini dapat diikuti secara langsung di Club Venue, Menara Imperium, Lantai 7 Jl. HR. Rasuna Said Kav. 1, Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan, maupun secara online dengan mengakses info pendaftaran di link berikut. Daftar dan ajak temanmu untuk semakin mengenal dan mencintai kekayaan wastra Indonesia yang indah, unik, dan beragam!
Wening Fikriyati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta
Disarikan dari:
Wawancara Sri Sintasari Iskandar (Neneng) di RRI Pro 1 Jakarta,
7 Maret 2025