Skip to main content

Indonesia di masa lalu memiliki cita rasa seni budaya luhur. Hal ini dapat terlihat dari kain tradisional dari berbagai daerah. Maka kita tidak sekadar menyebutnya “kain”, tetapi kata yang tepat adalah “wastra”, berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti kain tradisional dengan makna dan simbol tertentu.  

Pada Talkshow Berseri Menyingkap Pesona Wastra Indonesia Seri 1: Pusparagam Wastra Indonesia yang diadakan oleh Bidang Seni Budaya Pusaka Indonesia pada tanggal 3 Februari 2024 lalu, membahas wastra Nusantara bersama pakar dan kurator wastra, Sri Sintasari Iskandar dan Benny Gratha. 

Benny bercerita, sebelum kedatangan kapas di Nusantara, wastra terbuat dari kain kulit kayu, yakni kulit kayu bagian dalam yang berserat. Kulit dipukul-pukul, sehingga menjadi lebar, kemudian lembaran kulit kayu disambung-sambung menjadi kain yang lebar. Wastra tidak terbatas pada batik dan tenun. Banyak ragam teknik pembuatan wastra lainnya, seperti jumputan & tritik, sulaman, aplikasi, dan prada. Setiap teknik ini dijelaskan oleh Sri Sintasari atau akrab dipanggil Neneng dan Benny dengan sangat fasih, dimulai dari cara pembuatan, daerah asal wastra, makna motif dan warna, sampai dengan tata cara pemakaian. Keduanya juga membawa contoh-contoh wastra yang dijelaskan.  

TENUN

Secara singkat, tenun adalah teknik pembuatan kain dengan menjalin benang secara horizontal dan vertikal, atau disebut benang pakan dan lungsi. Terdapat 2 macam alat yang digunakan untuk menenun kain, yakni gedog dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Gedog digunakan untuk menenun kain dengan lebar 70 senti. Gedog banyak dipakai di daerah Indonesia Timur seperti NTT, NTB sampai ke daerah Indonesia Tengah. Sedangkan, ATBM masuk ke Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. ATBM banyak digunakan di daerah Melayu dan Sumatera, juga ditemukan di Sulawesi dan Sambas, Kalimantan Barat. 

Setiap daerah memiliki kekhasan teknik menjalin benang. Betapa kreatif dan uletnya para leluhur kita dahulu dalam mencipta kain. Ada sebentuk teknologi yang diterapkan pada kain yang kemudian digunakan sehari-hari sebagai pakaian, serta untuk ritual upacara adat. Aneka ragam tenun dimulai dari yang paling simpel sampai yang kompleks, yaitu tenun sederhana, tenun ikat (terdiri dari tenun ikat lungsi, ikat pakan, ikat ganda, ikat gabungan), tenun songket (terdiri dari pakan tambahan, lungsi tambahan), tenun lompat lungsi, dan tenun tapestri. 

Tenun gedog dan ATBM

BATIK 

Mengenai batik, terdapat dua pembagian besar batik, yaitu batik tradisional dan batik pesisiran. Batik tradisional adalah batik yang masih dibuat dengan pakem-pakem pembuatan batik. Keseluruhan proses pembuatan batik dilakukan dengan tangan, tidak dengan mesin. Batik tulis memiliki pakem, yaitu harus dilakukan pada 2 sisi kain. Tentang pengertian dan sejarah batik, dapat dilihat di artikel Seri Batik Nusantara, Warisan Tantra dalam Selembar Kain. Batik tradisional, biasanya dibuat dengan 3 warna yang memiliki makna tertentu; biru indigo mengarah ke hitam, yang artinya kekal abadi, putih artinya kehidupan, soga (cokelat) artinya kebahagiaan. Batik yang terdiri dari warna hitam dan putih disebut juga batik kelengan, sebenarnya adalah batik yang belum jadi, karena masih ada proses berikutnya untuk diwarnai soga. Namun batik kelengan tetap bisa langsung dipakai. 

Motif batik, seperti yang telah kita ketahui bersama adalah suatu yantra, produk teknologi spiritual, yang mencerminkan pola mandala atau bentuk geometri sakral tertentu. Kompleksitas motif batik Nusantara menjadi bukti bahwa leluhur kita memiliki kesadaran spiritual yang tinggi. Motif batik terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu motif geometrik dan non-geometrik. Motif geometrik, misalnya teknik ceplokan dan teknik nitik. Teknik nitik hanya ada di Solo, Yogya, dan Pekalongan. Contoh motif geometrik, antara lain batik jelamprang, parang, lereng, kawung, sidoluhur, dan kembang jeruk. Motif non-geometrik, memiliki bentuk dan susunan motif yang tidak teratur. Ragam hias dalam batik non-geometrik. Contohnya, semenan, dari kata semi, yang berarti mekar atau selalu bertumbuh. Gambar motifnya adalah bentuk daun, tangkai, kuncup, bunga, sulur. Termasuk motif batik mega mendung, yang artinya turun hujan membuat tanah subur.

Batik pesisiran ditemukan di daerah pesisir pantai seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, dan Batang. Cirebon juga terdapat batik warna soga, namun warna soganya lebih cerah dibanding soga Solo dan Yogya. Batik Pekalongan memiliki kombinasi warna yang cerah, dengan kepekatan warna yang lebih kuat dibanding batik Cirebon. Batik Lasem dengan warna merah yang khas, karena pengaruh kandungan air daerah Lasem. Batik dari daerah Batang, ada yang disebut batik Rifaiyah, memiliki ciri khas motif tidak menggambarkan binatang hidup. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat di Batang yang sangat religius. 

Selengkapnya tentang batik pesisiran dapat dibaca di 

Seri Batik Nusantara: Pengaruh Budaya Luar dalam Batik Pesisir

Mengabadikan Keunikan Batik Pesisir, Resensi Buku Batik Pesisir Pusaka Indonesia 

JUMPUTAN 

Kain jumputan adalah jenis kain batik yang diwarnai dengan teknik jumputan, yaitu mencelupkan kain ke bahan pewarnaan. Di daerah Palembang dan Bali, teknik ini disebut teknik pelangi. Bagian yang tidak diwarnai diikat kuat dengan tali rafia, dahulu digunakan tali dari serat pelepah pisang. Dapat juga dimasukkan benda seperti kacang hijau atau kelereng, untuk membuat motif tertentu pada kain jumputan. 

Terdapat teknik jumputan tritik, yaitu pola yang telah digambar pada kain kemudian dijahit jelujur, tarik satu per satu benang-benang yang terdapat pada setiap jahitan jelujur, sampai membentuk kerutan-kerutan. Lalu simpul kuat ujung-ujungnya agar tidak terlepas, kemudian celupkan kain ke bahan pewarna. 

SULAMAN

Sulaman banyak terdapat di daerah Sumatera. Di Jawa, tidak banyak dibuat karena kurang diminati. Jenis sulaman, antara lain suji cair (suji: menyulam, cair: warna gradasi), menghasilkan motif sulaman yang berwarna gradasi, suji kapalo samek yang berasal dari Minangkabau, suji papan, teknik menyulamnya seperti papan, juga dari Sumatera Barat. Namun teknik ini sudah tidak dibuat lagi.  Sulam karawo berasal dari Sulawesi, teknik ini mirip sulam papan. Sulam tekat, adalah teknik sulam khas Pekanbaru, Riau. 

Menurut bahan yang disulamkan, ada sulam manik-manik dari daerah Kerawang Gayo, sulam kerang dari Melolo Sumba Timur, sulam logam, sulam klengkam yang menggunakan logam pipih. Sulam dari bahan logam ini masih ada di daerah Riau dan Lampung. Sulam tumpar, menggunakan benang wol, berasal dari daerah Kalimantan Timur. 

Aplikasi adalah teknik menempelkan bahan pada kain. Teknik ini dilakukan di daerah yang tidak punya tradisi menenun, misalnya di Lampung. Prada adalah cara menghias kain menggunakan warna keemasan dalam bentuk lapisan. Di daerah Melayu, disebut telepuk. Bubuk emas atau yang menyerupai emas ditempelkan ke kain dengan menggunakan lem khusus dari tulang ikan yang ditumbuk. Kain berasal dari Pekalongan atau Lasem diprada penuh, untuk kemudian dipakai di daerah Palembang. 

Perkembangan industri tekstil Indonesia dan arus modernisasi Barat, membuat penggunaan wastra semakin ditinggalkan. Orang lebih banyak memilih mengenakan pakaian jadi yang lebih praktis sehingga budaya wastra semakin terkikis, baik dari segi pembuatan serta penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin sedikit jumlah pembatik atau perajin yang dapat mengerjakan pembuatan batik, tenun, sulam, dan jenis wastra lainnya. Isu ketersediaan benang dan kain juga menjadi persoalan yang tengah dihadapi para perajin wastra saat ini. Kain dan benang umumnya masih impor. 

Salah satu peserta yang juga perajin wastra asal Tidore, membagikan pengalamannya yang dengan mandiri memintal dan mewarnai benang untuk memenuhi kebutuhan pembuatan wastra. Lalu apa peran kita sebagai warga negara Indonesia dalam melestarikan wastra Nusantara? Mari kita lebih sering mengenakan wastra dalam berbagai kesempatan, sebagai bentuk kepedulian akan kelestarian wastra dan semangat berbudaya sesuai jati diri bangsa. 

N. Puri Handayani,

Peserta Kursus Wastra Nusantara