Skip to main content

Salah satu dampak dari keterbukaan arus informasi adalah mudahnya infiltrasi budaya antarnegara. Hal ini juga terlihat pada tren dalam menikmati musik. Di Indonesia, kita bisa melihat bagaimana anak-anak muda begitu akrab dengan musik Barat, Korean Pop (K-Pop), hingga Electronic Dance Music (EDM). Musik etnik dan musik tradisional yang menjadi ciri khas Nusantara semakin kalah panggung dibanding musik-musik populer tersebut. Jika ini terus dibiarkan, maka musik tradisional terancam punah.

Partisipasi anak muda dibutuhkan untuk turut melestarikan musik etnik. Hal inilah yang menjadi semangat bagi I Kadek Cahya Adi Wardana, Koordinator Sanggar Seni Budaya Pusaka Indonesia wilayah Bali. Hadir dalam siaran Obrolan Komunitas RRI Pro1 Jakarta bertajuk ‘Nada Nusantara: Menghidupkan Musik Etnik di Tengah Modernitas’ pada 4 Juli lalu, Cahya memaparkan harapannya terhadap pelestarian musik etnik dan seni tradisional. 

Cahya yang juga seorang pegiat musik etnik Bali memandang upaya mempromosikan musik etnik sangat penting dilakukan agar semakin dikenal luas. Ia berpendapat bahwa generasi muda harus terlebih dahulu mengerti akar budayanya sendiri dengan mengenal musik etnik. “Jadi, misalkan teman-teman sedang memainkan gong, gamelan, rebab, atau angklung, itu bukan sekadar bermusik. Tapi buat saya, kita juga sedang menyuarakan siapa kita sebagai sebuah bangsa dengan identitas dan akar budaya kita,” ungkap Cahya.

Nilai Filosofi dalam Alat Musik Tradisional dan Tantangannya

Ketika ditanya apa yang menjadi motivasinya sehingga tetap konsisten memainkan musik etnik di era modern, Cahya menuturkan bahwa baginya alat musik tradisional tak sekadar menghasilkan suara indah. Lebih dari itu, alat musik tradisional merupakan cerminan dari cara pandang, nilai hidup, dan spiritualitas sebuah masyarakat. Setiap bunyi yang dikeluarkan, bahkan bentuk alat musiknya, memiliki nilai filosofi. Hal ini yang membuat seni musik tradisi Indonesia mempunyai keunikan dan keindahan tersendiri dibandingkan instrumen musik modern. 

Cahya juga menyoroti tiga tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian musik etnik. Pertama, minimnya minat generasi muda terhadap seni musik tradisional Nusantara. “Mungkin karena musik tradisi kita dianggap kuno, kurang keren, atau tidak relevan dengan zaman sekarang,” tuturnya. Yang kedua, kurangnya dokumentasi dan pengarsipan karya musik dari para maestro yang sebagian sudah meninggal. Dan yang ketiga adalah komersialisasi musik etnik yang kadang-kadang justru menghilangkan makna dan nilai sakral dari musik ini. 

Baca juga: Mengenalkan Seni Tradisi pada Generasi Muda, Sebuah Upaya Mempertahankan Budaya dan Jati Diri

Cahya berpendapat bahwa ketika memainkan alat musik tradisional, pada dasarnya kita juga sedang menyuarakan identitas bangsa dan budaya kita. Alat musik bisa menjadi ciri khas suatu bangsa. Misalnya, setiap negara punya tradisi musiknya masing-masing. Tapi ada satu alat musik yang sangat jarang dimiliki oleh bangsa lain, yakni alat musik berbasis logam yang sistematis, harmonis, dan kompleks seperti gamelan

“Gamelan bukan alat musik biasa, tapi mencerminkan peradaban teknologi yang tinggi. Sudah sepatutnya kita memiliki spirit untuk mengembangkan warisan tradisi musik ini,” tegasnya.

Peran Kita untuk Melestarikan Musik Etnik Nusantara

Dalam upaya melestarikan musik etnik Nusantara, Pusaka Indonesia secara rutin menyelenggarakan pagelaran seni budaya. Pada April lalu misalnya, Pusaka Indonesia menyelenggarakan Pagelaran Musik Hening yang memadukan unsur-unsur musik etnik dengan instrumen modern. Misalnya, ada gitar listrik sebagai elemen musik modern yang memberi nuansa kuat, dan ada pula alat musik gesek tradisional rebab dan seruling Bali. Pagelaran musik ini menampilkan lagu-lagu aransemen ciptaan Setyo Hajar Dewantoro, Ketua Umum Pusaka Indonesia. Sebagian karya musik di pagelaran tersebut saat ini sudah dapat dinikmati melalui platform musik soundcloud.

Di balik Pagelaran Musik Hening tersebut, ada hal yang berkesan dan menjadi pelajaran berharga bagi Cahya. Ia menyadari bahwa memainkan musik etnik tidak sekadar bagaimana tampil di atas panggung, tetapi juga bagaimana menjalani proses latihan yang panjang dan diskusi lintas budaya. Perlu kerendahan hati dan kemauan berkolaborasi untuk bisa menyatukan perbedaan pandangan dalam sebuah proses kreatif. Hal teknis juga perlu dipahami agar musik etnik bisa berkolaborasi indah dengan musik modern. Misalnya, perlu mengenali dasar-dasar musik etnik itu sendiri, termasuk mengenal nada-nada lokal seperti laras slendro (sistem tangga nada petatonik) dan laras pelog (salah satu tangga nada petatonik dalam musik gamelan).  

Di sisi lain, menurut Cahya, masyarakat luas juga bisa melestarikan musik etnik sesuai perannya masing-masing. Cahya mengapresiasi peran Pemerintah Daerah Bali yang sangat mendukung upaya pelestarian musik etnik lewat kegiatan festival budaya secara rutin. Sedangkan masyarakat umum, menurutnya, juga bisa mulai dari langkah kecil. “Dengarkan, pelajari, dan apresiasi. Bagi yang berprofesi sebagai guru, bisa mulai mengajak murid-murid untuk mengenal gamelan, angklung, dan berbagai alat musik yang lainnya,” jelasnya.

Baca juga: Pusaka Indonesia Gelar Musik Hening, Sebar Kebahagiaan Nasional

Cahya menambahkan, keindahan musik etnik ternyata tidak hanya mengasah kreativitas, tetapi juga membuat kita terbiasa bergotong royong yang juga merupakan nilai kebangsaan kita. “Nggak bisa gamelan dimainkan satu orang. Jadi harus ada kolaborasi, saling berempati, saling mengerti satu sama lain, sehingga nada-nada itu saling selaras. Jadi segala proses itu yang buat saya berkesan,” pungkasnya.

 

Wening Fikriyati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta