Pusaka Indonesia kembali memukau penonton lewat pagelaran Sendratari Neng Ning Nung Nang yang digelar di Auditorium Abdurrahman Saleh, Gedung RRI, pada 24 Oktober lalu. Sebanyak 303 penonton hadir menyaksikan pertunjukan yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 22.00 WIB. Dalam kesempatan ini, Pusaka Indonesia juga berkolaborasi dengan The Ary Suta Center, lembaga yang bergerak di bidang pengembangan strategi, kepemimpinan, dan seni budaya.
Pagelaran dibuka dengan sambutan Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro (SHD). Kali ini, sambutan tersebut disampaikan dalam bentuk puisi. Beliau menyapa penonton dengan penuh rasa dan makna. Beliau juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh hadirin yang datang untuk menikmati kemegahan dan keberagaman budaya Nusantara yang dipersembahan lewat Sendratari.
Laku Hidup di Tengah Keresahan Zaman
Babak pertama Sendratari dibuka dengan kisah seorang tukang kopi keliling yang berinteraksi dengan para pekerja kantoran eksekutif muda. Mengambil setting insiden demo Jakarta akhir Agustus lalu yang sempat membuat traffic sebagian kota di Jakarta lumpuh total, puncak dari protes warga atas ketimpangan, para segelintir elit yang kesejahteraan, sementara mayoritas rakyat hidup susah di tengah situasi ekonomi yang semakin sulit. Keresahan ini diungkapkan lewat kritik dan dialog panggung.
Babak pertama Sendratari dibuka dengan kisah seorang tukang kopi keliling yang berinteraksi dengan para pekerja kantoran eksekutif muda di tengah hiruk-pikuk ibukota. Cerita berlatar insiden demonstrasi di Jakarta pada akhir Agustus lalu, ketika sebagian besar ruas jalan kota lumpuh dan akses ditutup karena aksi massa—puncak dari protes warga terhadap ketimpangan sosial yang kian mencolok.
Adegan ini menjadi cermin realitas masyarakat modern: segelintir elit menikmati kemapanan dan kenyamanan hidup, sementara mayoritas rakyat berjuang keras di tengah situasi ekonomi yang semakin berat. Seluruh keresahan itu diwujudkan secara simbolik melalui dialog dan kritik sosial di atas panggung, menampilkan suara hati rakyat yang mendambakan keadilan.
Lewat karakter Budi dan Jasmine, penonton diajak menelusuri perjalanan time travel ke masa lampau, masa keemasan Nusantara. Di sana mereka menyaksikan kehidupan masyarakat yang menjalankan laku hidup Neng Ning Nung Nang dalam setiap aktivitas: hidup selaras dengan alam, hidup berkesadaran, dan berlandaskan kebijaksanaan. Perjalanan yang mengubah cara pandang kedua anak muda ini, dari yang semula pesimis menjadi penuh optimisme, bahwa negeri mereka masih ada harapan, selama nilai-nilai luhur itu dihidupkan kembali.
Neng Ning Nung Nang, sebagaimana diketahui adalah sebuah filosofi dan ajaran spiritual Jawa Kuno. Heneng dan Meneng, adalah selalu sadar dan meditatif, Hening dan Wening adalah jernih, Dunung atau Kasinungan adalah selalu setia pada dan mendapatkan anugerah-Nya, Wenang atau Menang adalah menjadi pemenang kehidupan.
Filosofi ini menjadi benang merah yang menghubungkan seluruh kisah dan tarian dalam pertunjukan.
Baca juga: Tari Tenun dan Musik Etnik, Persembahan dari Bali
Ragam Tarian Nusantara yang Menggugah

Penampilan Tari Batik oleh kader Pusaka Indonesia saat Sendratari Neng Ning Nung Nang
Setiap babak diisi oleh tarian yang sarat makna. Pertunjukan diawali dengan Tari Gending Sriwijaya oleh Kader Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Timur, menggambarkan keagungan Kerajaan Sriwijaya. Dilanjutkan dengan Tari Bedhayan Wilwatikta dari The Ary Suta Center, yang lembut dan filosofis, terinspirasi dari kejayaan Majapahit. Ada pula Tari Tenun, simbol keindahan dan ketekunan perempuan Nusantara dalam berkarya.
Setyo Hajar Dewantoro turut tampil menari solo, mempersembahkan tarian jiwa dengan iringan lagu Titi Mangsa Sujiwo Tejo. Menjelang babak akhir, Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali mempersembahkan 3 buah lagu gubahan Guru SHD: Tanah Suci, Kekasih Jiwa, dan Raih Bahagia. Sebagian lagu ini, sebelumnya telah pernah dipentaskan dalam Pagelaran Musik Hening: Kebahagiaan dalam Harmoni pada April 2025 lalu.
Ketua Panitia Pelaksana, Agnes Puteri menuturkan, Sendratari ini ingin menyampaikan pesan kepada penonton bahwa di masa lalu, ada sebuah laku hidup yang luhur, yang jika dihidupkan dan diaplikasikan kembali dalam kehidupan sehari-hari, dapat membawa Nusantara untuk kembali mengalami kejayaannya.
“Itulah laku hidup Neng Ning Nung Nang. Dan, diharapkan penonton mau untuk mempraktikkan laku hidup itu di masa sekarang,” tutur Agnes.
Baca juga: Sendratari Neng Ning Nung Nang: Kolaborasi Seni, Persembahan untuk Negeri
Anastasia Indria, Manajer Kreatif Sendratari, menuturkan bahwa proses latihan berlangsung hanya dua bulan dengan para pemeran yang tersebar di berbagai provinsi. Latihan banyak dilakukan secara daring, yang tentu menghadirkan tantangan tersendiri dalam menghafal dialog dan membangun kekompakan di atas panggung. “Kadangkala penghafalan dialog jika dilakukan secara online dan ketemu langsung hasilnya akan berbeda,” tutur Anastasia.
Tantangan serupa dirasakan oleh Dudung Rohmat, pemeran utama yang berperan sebagai Budi. Ia mengaku berlatih hampir setiap hari via G-Meet, namun tetap bersemangat karena dedikasi dan totalitas rekan-rekannya.
Dudung menambahkan, karakter yang diperankannya, Budi, tidak jauh berbeda dengan karakter aslinya yang idealis dan punya jiwa patriotik. Naskahnya pun istimewa karena mengangkat kembali nilai-nilai positif yang perlu ditumbuhkan dan ditularkan kepada anak negeri. “Misalnya nilai patriotisme, optimisme, dan mencintai budaya yang adiluhung,” paparnya.
Namun pada akhirnya, dengan semua tantangan yang ada, Sendratari ini berlangsung sukses dengan gemilang. Tari Medley Nusantara yang dibawakan oleh pengurus Pusaka Indonesia, para Ketua Bidang, Ketua Wilayah, Koordinator Bidang, beserta kolaborasi apik dari kader DKI Jakarta dan Jawa Barat menutup pagelaran dengan istimewa.
Aniswati Syahrir
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten




