Pusaka Indonesia menghadiri acara ‘Wastra Bercerita – Menjelajah Solo dan cerita-cerita batiknya’, yang diselenggarakan oleh Himpunan Wastraprema (HWP) pada tanggal 28 November – 1 Desember 2024 lalu. Himpunan Wastraprema adalah perkumpulan pecinta tenunan batik dan kain adat tradisional Indonesia. Nama Wastraprema diambil dari Bahasa Sanskerta, wastra, berarti ‘kain’, prema berarti ‘cinta’. Secara internasional disebut Indonesia Traditional Textile Society.
Himpunan Wastraprema didirikan pada tanggal 28 Januari 1976 dan peresmiannya dilakukan pada 28 Juni 1976 di Jakarta oleh Bapak Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu. Saat ini Ketua Pengurus HWP adalah, Sri Sintasari (Neneng) Iskandar, yang merupakan narasumber utama di acara talkshow ‘Menyingkap Pesona Wastra Indonesia’, program kegiatan Bidang Seni Budaya Pusaka Indonesia.
HWP memiliki visi bahwa warisan budaya suatu bangsa yang kaya dan tinggi nilai seninya merupakan karya yang sepatutnya dihargai oleh bangsa yang bermartabat dan berbudaya. Karena itu HWP merasa perlu untuk mengemban misi, yaitu mengangkat citra pemahaman dan apresiasi terhadap seni budaya kain tradisional bangsa Indonesia. Agar wastra Nusantara semakin dikenal, diminati, dihayati, dan dilestarikan untuk diwariskan kepada generasi penerus.
Dengan visi misi HWP dan Pusaka Indonesia yang masih beririsan, maka Pusaka Indonesia menugaskan penulis selaku Koordinator Sanggar Seni Wilayah Yogyakarta, dan Probodjatie selaku Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Yogyakarta, untuk mengikuti acara HWP di hari terakhir, pada tanggal 30 November 2024. Kegiatan ‘Wastra Bercerita’ di hari terakhir ini, berlokasi di Pura Mangkunegaran, Solo.
Acara dimulai dengan jamuan minum teh di Keputren Mangkunegaran dengan cerita wastra batik pilihan karya Go Tik Swan. Panembahan Hardjonegoro) koleksi keluarga Pura Mangkunegaran. Dalam acara ini diceritakan makna filosofis, cerita di balik wastranya, dengan narasumber Neneng Iskandar, Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX : GRAy Retno Satuti Yamin Suryohadiningrat, dan GRAy Retno Rosati Hudiono Kadarisman Notohadiningrat dari Pura Mangkunegaran.
Go Tik Swan (GTS) adalah seorang keturunan Tionghoa, namun batik dan seluruh aspek pendukungnya serta nilai luhur yang terkandung di dalamnya sudah beliau hayati sejak kecil. Hingga pada akhirnya Presiden Soekarno memerintahkan GTS untuk membuat Batik Indonesia yang merupakan penggabungan rasa persatuan, nasionalisme, dan romantisme.
Batik sebagai warisan budaya luhur mempunyai makna mendalam dalam setiap motifnya, termasuk Batik Mangkunegaran Solo. Salah satu motif Batik Mangkunegaran Solo adalah Wahyu Tumurun dan Truntum.
Secara umum, Wahyu Tumurun memiliki arti ‘turunnya wahyu’ atau ‘wahyu yang turun dari langit’. Motif ini menggambarkan harapan akan datangnya anugerah atau petunjuk Ilahi yang seringkali diartikan sebagai berkah atau restu dalam kehidupan manusia. Selanjutnya, motif truntum melambangkan kasih sayang yang tidak pernah padam, yang selalu tumbuh dan berkembang meskipun menghadapi cobaan. Oleh karena itu, motif ini sering dipakai dalam acara pernikahan sebagai simbol harapan agar pasangan yang menikah selalu saling mencintai, menjaga keharmonisan, dan hubungan mereka selalu berkembang. Dalam acara ini juga diceritakan bahwa motif batik tertentu dalam pengerjaannya diawali dengan laku puasa sehingga hasilnya akan memancarkan nuansa kesakralan yang cukup kental pada motif yang dihasilkan.

Kain batik yang dipamerkan pada acara Wastra Bercerita
Secara keseluruhan acara yang kami ikuti di hari terakhir ini mirip dengan talkshow ‘Menyingkap Pesona Wastra Indonesia’ oleh Pusaka Indonesia, Bu Neneng dengan gayanya yang khas dan edukatif, membagi pengetahuan wastra beliau kepada para peserta. Yang membedakan dalam acara ini, selain lokasi tentunya, adalah hadirnya tuan rumah, GRAy Retno Satuti Yamin Suryohadiningrat, dan GRAy Retno Rosati Hudiono Kadarisman Notohadiningrat sebagai narasumber, menjadi pengalaman baru bagi peserta yang datang dari strata sosial yang berbeda. Acara ditutup dengan sit down dinner, yakni para peserta menikmati hidangan lima course menu dari Pracima West Park & Garden yang berlokasi di dalam Pura Mangkunegaran.
Keisari Pieta, Sekjen Pusaka Indonesia, mengatakan, “Pusaka Indonesia menjangkau berbagai lapisan masyarakat dan objek pendidikan. Kontras yang lucu dan memberikan gambaran penuh warna antara pemulihan dan pelestarian. Pelestarian bukan hanya milik rakyat jelata tapi sampai kalangan atas dengan style-nya masing-masing.”
Terima kasih Pusaka Indonesia atas kesempatan yang telah diberikan.
Titya Sumarsono-Perry
Koordinator Sanggar Seni wilayah Yogyakarta