Skip to main content

Isu krisis air  sudah lama menjadi perbincangan di tingkat global. Kerusakan lingkungan karena alih fungsi lahan, pemanasan global, hingga lonjakan populasi manusia, disinyalir sebagai penyebabnya. Maka, sejumlah organisasi internasional pun menyusun berbagai program dan strategi untuk meningkatkan ketahanan air dan memastikan ketersediaan air bersih secara berkelanjutan. 

Di Indonesia sendiri, berita tentang kelangkaan air di berbagai wilayah sudah sering menghiasi media. Di berbagai daerah dengan sistem ketahanan air yang lemah, kemarau akan menjadi momok menakutkan karena itu berarti masyarakat setempat harus bersiap hidup dengan ketersediaan air secukupnya atau harus mengambil air bersih dari sumber yang jauh. Berdasarkan data dari Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN), di tahun 2025 ini, Indonesia terancam mengalami krisis air tingkat menengah. Krisis air tertinggi dialami di Pulau Jawa dan Bali, kemudian menyusul Nusa Tenggara dan beberapa wilayah di Sulawesi dan Sumatra. 

Menjawab Tantangan Krisis Air dengan Hutan Bambu

Sebagai upaya menjawab persoalan kompleks kelangkaan air dan menjaga keberlangsungan sumber mata air, Pusaka Indonesia memulai inisiatif pembangunan hutan bambu di Dusun Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang Malang Selatan. Sumber air di dusun ini menghidup masyarakat di sekitarnya, namun sejak tahun 2000 terus mengalami penurunan debit. 

Dalam Obrolan Komunitas di RRI Pro 1 Jakarta pada 18 Juni lalu, Koordinator Bidang Akademi Bumi Lestari (ABL) Pusaka Indonesia, Fathul Hadi, menjelaskan latar belakang program ini. Temuan awal berasal dari Saptoyo, salah seorang kader Pusaka Indonesia di Malang Selatan yang juga merupakan pegiat lingkungan yang aktif melakukan konservasi hutan mangrove. Ia mengamati bahwa debit mata air utama di wilayah tersebut yang merupakan sumber air bersih utama bagi masyarakat sekitar, terus mengalami penurunan.

Untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut, Saptoyo menghubungi kantor pusat Pusaka Indonesia di Jakarta. Pusaka Indonesia memiliki visi menciptakan hutan-hutan surgawi untuk mempertahankan sumber mata air dan melestarikan lingkungan. Setelah melakukan survei dan validasi kondisi ke lapangan, Pusaka Indonesia memutuskan untuk menyelamatkan mata air dengan berkolaborasi bersama yayasan dan organisasi keagamaan setempat, yakni Clungup Mangrove Conservation (CMC) dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sendang Biru.

Baca Juga: Isu Kekeringan dan Upaya Membangun Ketahanan Air Indonesia

Dalam kolaborasi ini peran Pusaka Indonesia adalah menyiapkan biaya operasional dan menyediakan teknologi pertanian ala Sigma Farming Academy (SFA). Inisiatif ini, kemudian menjadi proyek percontohan (pilot project) pertama Pusaka Indonesia dalam membangun hutan surgawi dengan vegetasi bambu.

Salah satu tanaman bambu di Hutan Surgawi malang Selatan

Salah satu tanaman bambu di Hutan Surgawi malang Selatan

Mengapa memilih bambu?

Menurut Fathul, bambu dipilih karena memiliki keunggulan ekologis dan ekonomis. Misalnya, bambu mampu menjaga ketersediaan air tanah dan mencegah erosi. Di samping itu, satu rumpun bambu memiliki beberapa batang yang bisa dipanen tanpa merusak rumpunnya. “Ini berbeda dengan pohon jati atau sengon, yang butuh reboisasi setelah ditebang,” tuturnya.

Manfaat lain adalah bambu mampu menyerap karbon dan memproduksi oksigen dalam jumlah tinggi. Dari segi ekonomi, rebung bambu bisa diolah menjadi bahan utama dalam masakan. Batang bambu yang telah dewasa dapat dijadikan bahan konstruksi bangunan dan juga kerajinan, yang semuanya dapat mendukung pemberdayaan masyarakat sekitar.

Pelibatan Masyarakat Lokal dan Generasi Muda

Fathul juga memaparkan proses pembangunan hutan bambu di Malang Selatan tersebut. “Kami mengambil bibit bambu petung dari Mojokerto karena sulit menemukan bibit di sekitar lokasi,” tuturnya. Bibit tersebut kemudian menjalani proses aklimatisasi, yakni proses penyesuaian terhadap perubahan fisik atau pun lingkungan yang baru. Penentuan titik tanam, pembuatan jalur antarrumpun, hingga pembersihan area menjadi bagian penting di tahap awal.

Pada 12 Desember 2024, Pusaka Indonesia dan Yayasan Bakti Alam yang mengelola Clungup Mangrove Conservation (CMC) berhasil menanam  56 rumpun bambu. Masyarakat lokal turut dilibatkan dalam seluruh proses, mulai dari persiapan hingga perawatan, dan berlanjut hingga masa panen pada 5 hingga 6 tahun mendatang.

Baca juga: Mengapa Kita Perlu Membuat Hutan Surgawi Sekarang?

Menariknya, pendekatan kearifan lokal digunakan dalam  proses tanam, termasuk mengganti bibit bambu yang sudah mati. Peran generasi muda juga sangat menonjol, sebagai bagian dari upaya menumbuhkan kepedulian lingkungan dan mewariskan nilai bagi generasi selanjutnya. Dalam menjalani proses ini, tantangannya muncul dari kondisi medan yang berat. “Wilayah pegunungan, seperti lereng perbukitan dengan kemiringan 30˚ dan konturnya banyak yang tidak rata, menuntut ketangguhan fisik dan kesabaran,” ujar Fathul.

Harapan Fathul, program membangun hutan bambu ini menjadi kegiatan yang masif dilakukan. “Saya kira sudah waktunya bagi kita untuk memulai kembali reboisasi hutan bambu di banyak wilayah dan banyak tempat. Agar sumber mata air itu tercipta kembali. Dan kalau misalnya ada kesempatan di tempat lain, mungkin kami bisa membantu,” tuturnya. 

Di akhir perbincangan, Fathul menyampaikan pesan dari Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro, bahwa pembukaan hutan bambu di Malang Selatan tak hanya berfungsi sebagai konservasi, tetapi juga sebagai pemberdayaan masyarakat. Para donatur pun diundang untuk melihat langsung hasil donasinya, bahkan jika berkenan, turut serta dalam perawatan rumpun bambu.

 

Leo Kusuma
Kader Pusaka Indonesia Sumatera-Batam