Skip to main content

Menciptakan hutan dengan cepat di perkotaan, mungkinkah? Nyatanya, Dr. Akira Miyawaki telah melakukan riset secara ekstensif dan menemukan metode yang dapat menciptakan ekosistem hutan alami dalam waktu singkat, bahkan dapat dilakukan di lahan sempit. Metode ini telah terbukti mampu meningkatkan keanekaragaman hayati, menyerap karbon, serta memperbaiki kualitas udara dan tanah. Ini bisa menjadi solusi atas masifnya deforestasi dan kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Bagaimana metode hutan Miyawaki dapat diterapkan di Indonesia?

Dalam siaran Obrolan Komunitas di RRI Pro 1 Jakarta, Saptoyo selaku Wakil Koordinator Bidang Akademi Bumi Lestari Pusaka Indonesia berbagi pengalaman autentiknya dalam mempraktikkan Metode Miyawaki. Menurutnya, pertumbuhan hutan Miyawaki dapat berlangsung sangat cepat. Bahkan hingga 100 kali lebih cepat dibanding metode restorasi hutan konvensional. Dalam penerapannya, metode Miyawaki mengharuskan penanaman tumbuhan dengan jarak yang rapat. “Kami praktikkan pada jarak satu meter persegi itu diisi dengan empat jenis tanaman, yang terdiri dari tanaman kanopi, tanaman isi yang agak rendah, semak belukar, dan rumput. Jadi, empat unsur hutan itu ditanam dalam satu meter persegi,” tutur Saptoyo.

Baca juga: Hutan Bambu Malang Selatan, Sinergi untuk Restorasi Lingkungan

Saptoyo yang juga aktif mengembangkan hutan mangrove dan hutan bambu di Malang Selatan ini menjelaskan bahwa apa yang dipraktikkan Dr. Miyawaki mengadopsi perilaku pertumbuhan hutan asli. Kelebihan metode ini adalah kemampuan untuk menciptakan keanekaragaman hayati hutan dengan lebih cepat karena setiap tanaman bisa tumbuh bersamaan. Selain itu hutan Miyawaki juga minim perawatan. Setelah dilakukan penanaman, tidak perlu dilakukan pemupukan dan penyiangan karena memang tidak diperbolehkan dalam metode ini.

Selain pertumbuhan yang cepat, hutan Miyawaki juga memiliki keunggulan berupa penyerapan karbon dioksida yang lebih kuat karena tidak adanya lahan terbuka. “Tidak ada lahan terbuka seperti kita di lahan pertanian. Jadi, semua lahan setelah menanam itu nanti langsung ditutup dengan mulsa organik, seperti daun kering, sehingga nanti yang kelihatan hanya tanamannya saja. Nah, di situlah akan menghambat pengiriman gas metan ke udara,” tambah Saptoyo. Dari segi kemampuan untuk menghasilkan oksigen, hutan Miyawaki mampu memproduksi oksigen lebih cepat karena pertumbuhan tanaman yang ditanam dengan rapat. 

Meski demikian, metode Miyawaki ini juga memiliki kekurangan antara lain proses yang intensif dan biaya yang besar di tahap awal. Proses yang intensif ini berkaitan dengan persiapan lahan. Tanah harus digali antara 70 cm hingga satu meter, lalu diaduk, dan digemburkan. Setelah itu tanah diisi bakteri yang diadopsi dari sistem JADAM (Jayonul Damun Saramdul – metode pertanian organik yang sangat populer dari Korea Selatan), yaitu mengambil mikroba baik dari tanah yang subur dan tidak terkontaminasi bahan-bahan kimia sintetik. Mikroba tersebut dibiakkan dengan memberikan bahan berkarbohidrat tinggi seperti kentang, nasi, ketela, dan sejenisnya. 

Baca juga: Mengapa Kita Perlu Membuat Hutan Surgawi Sekarang?

Untuk proses pengembangbiakan mikroba dapat mengikuti langkah-langkah berikut:

  • Ambil tanah bermikroba tinggi (ditandai dengan munculnya beberapa jamur di tanah maupun di dedaunan lapuk) secukupnya, sekitar tiga genggaman, kemudian bungkus dalam kain saring/kaos.
  • Rebus kentang sebanyak 0,5 kg. Biarkan dingin lalu bungkus dengan kain saring/kaos.
  • Ambil air hujan atau air dari sumber yang bersih sekitar 20 liter, lalu masukkan dalam kaleng. Kemudian masukkan kentang yang sudah terbungkus kain, remas-remas perlahan hingga lumat dan air berubah warna. Setelah itu ambil tanah bermikroba tinggi yang sudah terbungkus kain saring, remas perlahan hingga air berubah kecoklatan. Biarkan kentang dan tanah yang masih tersisa dalam bungkus di dalam air .
  • Tutup kaleng untuk melindungi air hujan dan kotoran lainnya tapi tetap upayakan mendapatkan oksigen semaksimal mungkin. Lalu letakkan di luar ruangan yang teduh.
  • Cek berkala apakah muncul busa di permukaan air dalam kaleng tersebut. Jika sudah muncul busa maksimal, pertanda mikroba sudah berkembang biak maksimal, dan bisa langsung diaplikasikan ke lahan dengan konsentrasi 1:10.
  • Aplikasi mikroba sebaiknya dilakukan sebelum jam 10.00 atau setelah jam.16.00.
  • Ulangi aplikasi sebanyak 4 x setiap 1 minggu sekali. Setelah itu, tutup lahan dengan mulsa daun-daun kering atau jerami padi. Lahan pun siap ditanami.

Tantangan yang kedua dalam menerapkan metode ini adalah proses asesmen tanaman dengan mengumpulkan informasi terkait jenis tanaman asli yang pernah tumbuh di wilayah tersebut. Jika lahan sudah berubah fungsi dalam kurun waktu tertentu, maka kita perlu menggali data ini kepada orang-orang tua untuk menceritakan kembali tanaman apa saja yang pernah tumbuh di wilayah itu. Kita juga perlu mencari tahu pohon kanopi apa yang tumbuh, pohon bagian tengah apa saja, semak dan rumput apa yang ada saat itu. Informasii tersebut diperlukan untuk menentukan tanaman apa saja yang akan ditanam. “Dengan data-data pohon yang pernah ada di situ, dari empat unsur itu, kita baru menanam,” urai Saptoyo. Meski terkesan rumit, proses di awal ini akan memudahkan tahap selanjutnya yang tidak memerlukan perawatan intensif, apalagi jika air yang tersedia di dekat lahan mencukupi.

Meski terbukti mampu dikembangkan secara cepat, metode ini belum banyak diterapkan di Indonesia. Padahal, menurut Saptoyo metode ini bisa dipilih untuk mengembalikan hutan-hutan yang rusak di berbagai daerah di Indonesia. Tidak perlu lahan yang luas, mulai dari lahan berukuran 5×5 meter pun kita bisa menyulapnya menjadi hutan Miyawaki, bahkan di area perkotaan.

Baca juga: Pembukaan Hutan Surgawi Malang dengan Vegetasi Utama Bambu

Tak hanya kebutuhan biaya yang besar di awal pembuatan hutan, keterbatasan informasi yang tersedia akibat bentang alam yang sudah berubah dalam jangka waktu yang cukup lama juga menjadi tantangan dalam menentukan tanaman apa yang akan ditanam. Sementara itu, kondisi tanah yang telah lama rusak juga rentan membuat tanaman mudah terkena penyakit atau hama. Dengan mempertimbangkan tantangan tersebut, Saptoyo menyarankan untuk membuat perencanaan matang sebelum memulai pembuatan hutan Miyawaki. Saptoyo pun mengingatkan pentingnya pengairan yang cukup dan stok daun kering untuk menutup lahan hutan agar dapat ditebar di lahan setiap dua bulan sekali.

Di akhir perbincangan dengan penyiar RRI Pro 1 Jakarta, Saptoyo mengungkapkan harapannya agar lahan-lahan yang terbengkalai, bekas tambang, atau lahan yang tidak produktif bisa dikembangkan menjadi Hutan Miyawaki. Dengan metode ini, lahan terbuka yang semula melepas gas metana dapat menghasilkan oksigen dengan cepat. “Bagi masyarakat yang perkotaan, apakah bisa? Bisa. Yuk, kita mandiri oksigen dengan membuat hutan Miyawaki sekecil apa pun,” ajak Saptoyo. 

Cerita Saptoyo mengingatkan pentingnya memulihkan hutan dimulai dari memulihkan tanah. Pusaka Indonesia lewat berbagai riset dan aksi terus berupaya memulihkan tanah air Indonesia agar kembali subur, gemah ripah loh jinawi.

 

Wening Fikriyati
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber foto: Dokumentasi Hutan Miyawaki Clungup Mangrove Conservation (CMC) Tiga Warna Malang