Dalam acara sarasehan bertajuk “Membaca Indonesia: Kita Harus Pesimis atau Boleh Optimis” yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 22 Februari 2025, Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia, Eko Nugroho, memulai pemaparan dengan menampilkan hasil survei dari ISEAS-Yusof Ishak Institute. Lembaga survei yang berbasis di Singapura ini, pada 2017 mewawancarai 1.620 warga negara Indonesia berusia 17 tahun ke atas di 34 provinsi untuk memperoleh pandangan tentang isu ekonomi, sosial, dan politik.
Apa hasil dari survei tersebut? Mayoritas responden menyatakan kekhawatiran tentang kondisi ekonomi, pendapatan, tingkat pengangguran, dan resesi ekonomi, serta kasus korupsi. Pada aspek politik, responden menyatakan kondisi politik Indonesia sangat tidak stabil. Mereka juga menganggap Pemerintah Indonesia sangat tidak peduli dengan aktivitas kepemudaan, penegakan hukum sangat buruk, dan tidak optimis dengan pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Laksda TNI Purnawirawan Untung Suropati, salah satu narasumber dalam Kajian, menyoroti paradoks yang terjadi dalam sejarah Nusantara. Delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, ketahanan nasional masih rapuh terhadap intervensi asing. Dari aspek antropologi, sejumlah kajian menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah tercerabut dari akar budayanya dan kehilangan koneksi dengan leluhurnya. Dari aspek kepemimpinan, Indonesia mengalami krisis keteladanan. “Kita miskin keteladanan sehingga bangsa ini berjalan terseok-seok. Ibarat kapal yang berjalan tanpa tanpa kompas, tidak tahu arah,” demikian istilah yang disebutkan Untung.
Dalam analisis Perkembangan Lingkungan Strategis (Balingstra), dunia global diwarnai sejumlah gejolak dan konflik. Di tingkat regional, ketegangan di Laut Cina Selatan terus meningkat. Di tingkat nasional, banyak fenomena yang dipicu oleh masalah politik, ekonomi, dan hukum. Eksistensi Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang terdiri dari Australia, Malaysia, Singapura, Selandia Baru, dan Inggris, turut menjadi tantangan bagi Indonesia. Untung juga menyoroti bagaimana ASEAN kini kehilangan pengaruhnya di dunia global. “Dulu yang bikin galak ASEAN adalah Presiden Sukarno,” tambahnya.
Hasil survei ISEAS yang menggambarkan rendahnya tingkat kepercayaan generasi muda terhadap pemerintah, hingga kondisi Balingstra yang banyak dipengaruhi situasi global, tampaknya menjadi alasan kuat bagi generasi masa kini untuk pesimis terhadap masa depan bangsa ini. Namun, apakah benar tidak ada lagi harapan? Apakah kita hanya akan berdiam diri dan menunggu bangsa ini tenggelam karena berlayar tanpa kompas?
Ketua Umum Pusaka Indonesia yang sekaligus Pendiri dan Pengasuh Persaudaraan Matahari, Setyo Hajar Dewantoro (SHD) menyampaikan perspektif berbeda. Menurutnya, seburuk apa pun kondisi bangsa ini, bukan alasan untuk berputus asa. “Sebagai warga negara, tugas kita bukan hanyut dalam isu kegelapan. Tidak juga mengutuk pemerintah, tetapi fokus melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan.”

Ketua Umum Pusaka Indonesia, Setyo Hajar Dewantoro, saat menyampaikan materi sarasehan.
SHD menjelaskan bahwa realitas saat ini sangat berbeda dengan cita-cita bangsa yang termaktub dalam UUD 1945. Indonesia seharusnya menjadi negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 yang telah diubah sejak 2002. “Cita-cita kita adalah memajukan kesejahteraan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Namun, kenyataannya, nasib bangsa kita ditentukan oleh king maker dan kita sangat tergantung pada oligarki global dan nasional,” jelasnya. SHD menegaskan, dalam situasi ini, hanya keajaiban yang bisa mengubah kondisi bangsa kita. Dan salah satu cara untuk memunculkan keajaiban itu adalah dengan melakukan perjuangan dengan landasan ketulusan. “Selalu ada kekuatan adikodrati yang memunculkan keajaiban itu,” tegasnya.
Bekerja dengan landasan ketulusan, setidaknya telah mulai dilakukan oleh Pusaka Indonesia. Perkumpulan ini menjadi wadah bagi para kader yang tersebar di seluruh Indonesia yang masih memiliki jiwa dan semangat patriotisme. Dengan semboyan “Hening dan Beraksi”, Pusaka Indonesia terus berupaya membangkitkan kembali strategi Trisakti yang dulu pernah digagas Bung Karno, yakni menyebarluaskan kesadaran Pancasila sebagai jalan spiritual, berdikari di bidang pangan dan ekonomi, pelestarian lingkungan, teknologi tepat guna, serta membangun manusia Indonesia yang punya jiwa patriotisme sebagai pilar terbangunnya kedaulatan bangsa dan negara.
Dalam skala global, SHD mencontohkan berbagai peristiwa yang mencerminkan adanya keajaiban dalam perubahan dunia. Dari perubahan sikap Vladimir Putin yang kini lebih humanis dan berani melawan NATO, terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden, hingga batalnya Perang Dunia III yang diduga telah dirancang oleh Joe Biden melalui berbagai manuver politiknya. “Semua kejadian itu memang terjadi di luar Indonesia, tetapi geopolitik global turut mempengaruhi geopolitik lokal,” ujarnya.
Lalu sebagai rakyat biasa apa yang bisa kita lakukan? Kajian “Membaca Indonesia 2025” mengingatkan kita untuk tidak larut dalam pesimisme. Tugas kita adalah memperbaiki bangsa ini dengan ketulusan. “Jangan cemas dengan masa depan, lakukan yang terbaik. Sejelek apa pun bangsa kita, jangan pernah berhenti mencintai negeri ini,” pungkas SHD.
Anis Syahrir
Kader Pusaka Indonesia DKI-Banten