Tahukah Anda bahwa tanaman liar di pekarangan rumah—yang sering dianggap gulma—ternyata menyimpan rahasia kesehatan yang luar biasa? Atau bumbu dapur bisa menjadi ramuan ampuh untuk meningkatkan daya tahan tubuh secara alami? Indonesia dikenal sebagai surga rempah dan herbal, namun warisan jamu sebagai bagian dari identitas bangsa kian terlupakan. Menjawab tantangan ini, Akademi Herbal Nusantara (AHN), bagian dari Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia, ingin menghidupkan kembali tradisi jamu sebagai warisan kesehatan bangsa. Berbagai kegiatan diselenggarakan oleh AHN untuk memberikan edukasi dan pemahaman mengenai jamu ini.
Salah satu kegiatan yang menggugah antusiasme masyarakat adalah Workshop Meramu Jamu yang digelar pada 9 Juni 2025 di Griya Tirta Sari, Desa Sirnoboyo, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Kegiatan ini dihadiri oleh kader Pusaka Indonesia, beberapa ibu PKK Desa Jepurun, dan peserta nonkader lainnya yang datang dari Klaten dan Solo.
Baca juga: Mengolah Sampah Rumah Tangga Menjadi Kompos: Solusi Ramah Lingkungan.
Narasumber kegiatan ini adalah Ine Redjamat, Koordinator Bidang AHN dan Retno Sulistyowati selaku tim AHN. Materi yang diberikan dibagi menjadi tiga sesi, yaitu:
- Manfaat herbal dan praktik meracik jamu – jamu untuk flu, batuk, demam, dan jamu peningkat kebugaran.
- Pemanfaatan rumput liar untuk kesehatan dan praktik meracik jamu – jamu daya tahan tubuh dan jamu untuk mengatasi nyeri sendi.
- Menanam tanaman obat keluarga (TOGA) dan praktik langsung menanam rimpang sebagai TOGA.
Peserta diberikan pemahaman mengenai khasiat herbal untuk menjaga kesehatan dan mengatasi penyakit, serta diperkenalkan tiga tip menjaga kesehatan, yakni; melatih kesadaran diri (self-awareness) dengan mengenali indeks massa tubuh dan peradangan tersamar yang dirasakan; menggunakan 5P alami (pemanis, penyedap, pewarna, pengawet, dan pangan bebas pestisida); mengelola 5 keseimbangan (aktivitas, makan-minum, istirahat/sosialisasi/rekreasi, pengelolaan stres, dan olahraga).

Para peserta workshop sedang praktik meramu jamu
Dalam sesi praktik, peserta dibagi menjadi lima kelompok: dua kelompok untuk peserta eksternal, dan tiga kelompok untuk kader Pusaka Indonesia. Tim AHN telah menyediakan bahan dan alat untuk meracik jamu sesuai resep. Peserta juga diperkenalkan dengan istilah seperti sejumput, sejimpit, satu ruas, satu jari, serta teknik mememarkan bahan. Setiap racikan jamu yang telah selesai kemudian diminum bersama. Beberapa peserta bahkan menyukai rasa jamu kebugaran yang dibuat dan ingin mencobanya lagi. Retno juga membagikan tip bahwa sisa bahan jamu dapat dijadikan kompos rumah tangga.
Suasana workshop berlangsung hangat dan interaktif. Dalam salah satu sesi diskusi, Saptoyo – Ketua Wilayah Pusaka Indonesia Wilayah Jawa Timur – bertanya tentang cara mengurangi rasa pahit daun sambiloto. Ia mengaku pernah menggunakan segenggam sambiloto saat meracik jamu. Menanggapi hal ini, Ine Redjamat menjelaskan bahwa sambiloto tetap akan terasa pahit meskipun ditambahkan asam jawa. Retno menambahkan, “Untuk satu takaran jamu cukup gunakan 1–2 lembar saja, kalau segenggam ya pasti sangat pahit.” Hal ini sontak memancing gelak tawa dari seluruh peserta workshop.
Baca juga: Berburu Rumput Gulma: Menemukan Harta Karun di Sekitar Kita.
Selanjutnya pada materi rumput liar untuk kesehatan, peserta diperkenalkan langsung dengan beberapa rumput liar yang bermanfaat, seperti pegagan, rumput mutiara, anting-anting, sirih cina, dan patikan kebo.
Beberapa ibu PKK menyampaikan bahwa tanaman-tanaman tersebut sering tumbuh di halaman rumah mereka, namun selama ini dibiarkan saja atau dicabut karena tidak tahu bahwa rumput liar tersebut bisa digunakan sebagai bahan jamu. Saat sesi ini, peserta diajak keluar ruangan untuk mencari dan mengidentifikasi rumput liar, termasuk mengumpulkan anting-anting yang akan digunakan sebagai bahan praktik selanjutnya.

Peserta workshop sedang praktik membuat media tanam
Materi ketiga adalah tentang menanam TOGA di rumah. Peserta diajak menanam herbal secara organik memanfaatkan halaman rumah. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat menghasilkan bahan pangan dan jamu yang bebas pestisida. Dalam praktik ini, peserta diajarkan menanam rimpang. Diberikan tip memilih rimpang dengan mata tunas yang baik, membuat media tanam, dengan perbandingan 2 bagian kompos (seperti kompos Sigma atau bisa kompos apa saja), 1 bagian tanah, dan 1 bagian sekam bakar. Untuk dasar pot atau polybag, gunakan daun hijauan dan daun coklatan yang berfungsi sebagai simpanan nutrisi. Retno juga menyarankan agar tanaman disiram dengan air cucian beras untuk menambah kesuburan.
Kegiatan ini mendapat sambutan hangat dari peserta. Meski awalnya ibu-ibu PKK Jepurun sempat khawatir acara akan berlangsung terlalu lama, ternyata mereka mengikuti dengan semangat. “Peserta workshop AHN Wonogiri dari kalangan nonkader sangat antusias. Awalnya saya kira masyarakat di sana sudah terbiasa dengan jamu, ternyata banyak yang masih menganggap jamu itu tidak enak dan hanya diminum saat sakit, bahkan lebih memilih obat warung atau dokter. Harapan saya, peserta bisa menyebarkan pengetahuan ini agar lebih banyak orang tertarik dan memanfaatkan herbal sebagai bagian dari gaya hidup sehat,” ujar Ine Redjamat.
Beberapa peserta yang diwawancarai mengungkapkan bahwa workshop ini sangat bermanfaat dan membuka wawasan mereka. Ibu Vivi dari Kecamatan Jatinom, Klaten, mengaku baru tahu bahwa jamu tidak boleh dipanaskan ulang karena dapat mengurangi khasiatnya. Sementara itu, Ibu Lucia dari PKK Jepurun yang belum terbiasa membuat jamu, bertekad untuk mulai meracik jamu dengan cara yang benar.
“Harapannya, kegiatan ini bisa memperkenalkan kembali tradisi meramu herbal sehingga masyarakat menjadi lebih mandiri dan sehat tanpa bergantung pada obat-obatan kimia sintetik,” tutup Niniek Pebriany, Ketua Bidang Pendidikan dan Pemberdayaan Pusaka Indonesia.
Y. Vindry Astuti
Kader Pusaka Indonesia Wilayah Yogyakarta