Kecamatan Ubud yang berlokasi di Kabupaten Gianyar, berjarak kurang lebih 1 jam 12 menit dari kota Denpasar, memiliki daya tarik wisata yang cukup tinggi dan salah satu daerah teramai yang dikunjungi wisatawan.
Saat kami ke Ubud, pada 24 Maret 2024, panas terik matahari begitu memancar. Kami menjelajahi jalan raya di jantung Ubud, yang di kanan kirinya ramai toko, kerajinan, dan restoran. Salah satu hal menarik yang kami temukan adalah rumah yang menjadi workshop pembuatan kerajinan atap alang-alang, yang jumlahnya cukup banyak, tersebar di Ubud. Menurut warga setempat, sebelum sektor pariwisata di Bali semarak, dahulunya masyarakat Bali memanfaatkan alang-alang sebagai atap bangunan seperti rumah, kubu di sawah, dan atap sanggah sehingga alang-alang ini sudah menjadi salah satu kearifan lokal di Bali.
Mendengar cerita warga, kami sempat berpikir “Bagaimana alang-alang kering ini bisa menahan air ketika hujan atau panas ketika kemarau, ya?”
Setelah kami search di internet foto bangunan rumah-rumah Bali, kami menemukan bukti foto-foto bahwa pada zaman dahulu masyarakat Bali menggunakan alang-alang sebagai atap bangunan mereka.
Salah seorang perajin alang-alang di Ubud yang kami temui bernama I Wayan Mungkrug (77th). Beliau membuat kerajinan alang-alang ini meneruskan usaha orang tuanya. “Saya sudah menggeluti bidang ini dari tahun 1961,” ujar Mungkrug, yang merupakan perajin generasi kedua.
Mungkrug bercerita, alang-alang itu ia dapatkan dengan membelinya dari petani. Dulu, masih banyak persawahan yang terbentang di Ubud. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak generasi penerus yang tidak mau melanjutkan profesi bertani. Dengan demikian, lambat laun tumbuhlah tanaman alang-alang yang kini dimanfaatkan sebagai atap tradisional. Menurut Mungkrug, terbatasnya ketersediaan air di daerah tersebut menyebabkan sulitnya bertanam padi, atau tanaman palawija. Selain itu, perawatan memerlukan biaya tinggi, sehingga membuat masyarakat lebih memilih untuk menanam alang-alang.
Seiring dengan meningkatnya sektor pariwisata di daerah Ubud, menyebabkan banyak terdapat vila maupun hotel, yang tidak lagi menggunakan atap alang-alang. Mungkrug mengaku, sejalan dengan itu, penghasilan yang didapatkan dari menjual atap alang-alang juga menurun. Ia sendiri memilih bertahan untuk menekuni profesi tersebut lantaran usianya yang sudah tua dan tidak memungkinkan lagi jika mengambil kegiatan lain. “Ya, sambil mengisi waktu luang biar ada kesibukan,” ujarnya. Walaupun demikian, ia mengajak dua pekerja tambahan yang membantu di workshopnya.
Minimnya generasi muda yang mau melanjutkan profesi ini, menyebabkan usaha kerajinan atap alang-alang juga terancam musnah. Senada dengan Mungkrug, Wayang Mudiana (30th) memilih tetap bekerja sebagai perajin alang-alang lantaran menurutnya, bekerja di bidang pariwisata terlalu diikat oleh waktu. “Kalau kerja di pariwisata cenderung terikat oleh waktu, jadi tidak bisa leluasa,” ujarnya. Tak jauh berbeda, keuntungan yang didapatkan Mudiana semenjak aktivitas pariwisata di Ubud meningkat, malah kian menurun.
Memang terdapat beberapa pihak hotel maupun villa yang menggunakan atap dari alang-alang untuk memunculkan kesan tradisional, namun tak sedikit yang menggantinya dengan jenis atap lain. “Banyak pihak villa atau hotel sudah bosan, menurut mereka atap ini mudah rusak,” ujar Mudiana.
Alang-alang sebagai warisan kearifan lokal yang sudah ada dari zaman nenek moyang, bukan tidak mungkin lama kelamaan akan tergerus oleh zaman hingga perlahan mulai musnah dari peradaban. Sudah sepatutnya sebagai generasi muda melek akan kearifan lokal yang ada di sekitar. Sebagai anak muda Bali, di sinilah diperlukan kontribusinya untuk turut melestarikan kearifan lokal atap alang-alang dengan, misalnya, meningkatkan kualitas atap alang-alang supaya bisa digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama, memberi sentuhan inovasi dan kreativitas, agar atap alang-alang bisa kembali dilirik, utamanya bagi pengelola pariwisata dan masyarakat yang ingin tetap mempertahankan arsitektur tradisional.
Selain dari sisi inovasi, kampanye melalui media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai media promosi untuk mengenalkan atap alang-alang ke khalayak luas, tentang manfaatnya, keindahannya, dan sebagainya, sehingga tetap digemari dan dicari. Pihak pemerintah maupun aparat desa adat juga bisa turut berkontribusi dengan membuat dan mengembangkan wisata budaya kerajinan atap alang-alang, bekerja sama dengan para perajin, sehingga penghasilan perajin meningkat dan kerajinan ini bisa dikenal oleh masyarakat luas. Sebuah langkah kecil untuk menjaga warisan leluhur kita sehingga tidak punah dan tergerus oleh putaran waktu.
Penulis : Luh Putu Sri Tisnawati, Gusti Ayu Jatya Kusuma Dewi, Ni Kadek Dian Kartika Mahautami, Kadek Arya Merysa, Luh Putu Dea Risna Pramudia Sari, Ni Kadek Sri Juliantari.
Tulisan tersebut dihasilkan dari Kelas Jurnalisme Pusaka Muda untuk Pelajar SMA dan Mahasiswa Bali yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 17 dan 24 Maret 2024 di kawasan Ubud, Gianyar.