Skip to main content

Masa kanak-kanak, masa manusia belajar mengenal lingkungan sekitarnya dengan ditemani senyuman, canda tawa, dan kasih sayang oleh orang tua dan orang sekitarnya. Namun, masa kanak-kanak yang indah itu tidak dialami oleh semua orang. Anak “berbeda” akan mendapat perlakuan yang berbeda pula, begitu realita kehidupan yang dialami oleh Nabila Nurfatkhiyah, seorang guru sekaligus founder Sancaya Indonesia yang berkesan bagi teman-teman kecil di Pandak Gede, Tabanan. Kisah pilu yang dialami sedari kecil tidak memutus harapan dan semangat darinya. Bagaimana kisahnya?

Sinar dari matahari yang masih berada di ufuk timur bersinar indah, ditemani sepoi-sepoi udara yang menyapa kedatangan peserta Kelas Jurnalisme Pusaka Muda dan tim Pusaka Indonesia di Sancaya Indonesia yang bertempat di Pandak Gede, Tabanan. Selain indahnya pemandangan, terdapat seorang perempuan berambut panjang dengan senyum ramah, datang menyapa tamu di community cafe (tempat berkumpul). Kakinya cekatan menerima tamu sekaligus mengawasi anak-anak yang sedang bermain, membaca buku, atau sekadar ngobrol saja. 

Sosok perempuan tersebut adalah Nabila Nurfatkhiyah, founder (pendiri) Sancaya Indonesia Kak Nabila atau kerap disapa Miss Nabila oleh anak didiknya. Dia dipanggil ke depan untuk memperkenalkan tentang Sancaya Indonesia. 

“Saya tidak suka berbicara banyak-banyak di depan,” ujar Miss Nabila sembari tersenyum. Kalimat itu membawa dirinya dan peserta kelas jurnalis segera mengelilingi dan berkenalan dengan seluruh fasilitas di sana.

Suara yang lembut disertai tutur kata yang lugas apa adanya membuat tour singkat kala itu berjalan dengan menyenangkan hingga peserta bahkan tidak menyadari bahwa Miss Nabila tidak menggunakan alas kaki ketika memperkenalkan Sancaya sebelum beliau sendiri yang mengatakannya. “Beginilah ADHD, kurang fokus,” kata Miss Nabila sembari tertawa ketika menyadari dirinya tidak menggunakan alas kaki saat melakukan tour.  

Ya, benar, Miss Nabila merupakan seorang penderita ADHD (Attention Deficit/Hyperactive Disorder) sejak kecil, namun late diagnosed (didiagnosa pada umur 30-an) sehingga sulit untuk diobati. Miss Nabila bercerita bahwa ketika masih kecil, beliau tidak diterima sepenuhnya atas kondisinya yang sulit fokus oleh orang-orang sekitarnya, termasuk keluarganya. Orang tua yang pada saat itu belum paham dan berpengetahuan tentang gangguan mental cenderung ingin mengubah anaknya dengan metode menasehati atau memarahi yang tentu tidak akan efektif kepada anak yang memiliki cara dan pola berpikir yang berbeda dengan anak “normal” seumurannya. Hal itu juga dialami oleh pemilik Sancaya Indonesia tersebut. Namun dengan keadaan tersebut dan luka-luka tidak berdarah dalam  hati kecil, ia semangat untuk mencari tahu tentang kondisi dan metode pembelajaran yang tepat bagi anak-anak seperti dirinya.

Terlahir dari keluarga akademisi atau guru, membuat perempuan berdarah Jawa Timur tersebut memilih pula untuk bermata pencaharian sebagai guru khususnya guru Bahasa Indonesia bagi penutur asing. Perjalanannya menjadi agen pendidik anak-anak Indonesia sangatlah banyak. Ia mengajar banyak sekolah dengan metode pendidikan yang berbeda-beda dimulai dari daerah asalnya di Jawa Timur, kemudian pindah ke Bali dan mengajar di sekolah internasional. 

“Di sekolah terakhir aku ngajar, aku ngajar anak special-needs,” ujar Miss Nabila bercerita. Miss Nabila menjadi guru di sana, dan setelah masuk ke departemen tersebut ia baru mengetahui tentang anak-anak yang berkebutuhan khusus dan metode pembelajaran yang baik untuk anak-anak tersebut. Karena merasakan kondisi yang sama, maka tercetuslah rencana pembuatan Sancaya Indonesia yang menjadi wadah pembelajaran bagi semua kalangan teman-teman kecil (anak-anak) bahkan teman-teman special-needs (berkebutuhan khusus) juga. 

Tetapi dalam membuat rencana tersebut nyata diperlukan perjuangan yang lebih banyak oleh Miss Nabila. Mengajar Bahasa Indonesia di platform online dilakukannya setelah resign dari sekolah tempatnya mengajar sebelumnya. Hasil jerih payah yang ia dapatkan sejumlah $15 per jam. “Ngajar dari jam 5 sore sampai jam 2 pagi itu dikumpulin uangnya setiap hari,” kata Miss Nabila. Uang hasil mengajar yang dikumpulkan setiap harinya pelan-pelan bertambah dan menjadi modal dalam membuat sekolah, yaitu Sancaya Indonesia. Hingga kini, Miss Nabila telah mengajar total 6 tahun dan sebanyak 2000 kelas dan masih berlanjut hingga saat ini. 

Gubuk Sancaya Indonesia

“Sancaya berawal dari gubuk kecil ini kok,” cerita Miss Nabila pada saat tour sembari tersenyum lebar. Gubuk kecil nan minimalis yang terbuat dari kayu dan di sekelilingnya dihiasi tanaman tersebut lah menjadi sejarah awal Sancaya Indonesia, sekolah hebat yang kini semakin berkembang dan memiliki banyak fasilitas seperti perpustakaan, kebun surgawi, kelas-kelas, hingga klinik terapi dan konseling. 

Sekolah yang hebat itu tidak lepas dari sosok dibaliknya yang berjuang untuk membuat dan mengembangkannya. Kisah perempuan luar biasa bernama Nabila tersebut dapat menjadi inspirasi bagi khalayak ramai dengan membuktikan bahwa pengalaman buruk yang dialami sebelumnya tidak bisa mengurangi semangat dan tekad untuk membuat dunia lebih baik bagi dirinya dan orang sekitarnya. “Semua anak membutuhkan lingkungan yang ramah untuk anak sehingga mereka dapat belajar dan mendapat support yang mereka butuhkan,” kata Miss Nabila sembari tersenyum. (*)

 

Kadek Sant Jyoti Putri

Peserta Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka Muda