Skip to main content

Para petani tidak terlepas dari penggunaan pupuk sintetis. Di mana pun sejauh yang saya lihat, para petani sangat tergantung dengan pupuk sintetis dan pestisida. Kualitas tanaman yang mereka tanam, jika terlihat tidak bagus, mereka akan membeli kembali produk pupuk sintetis dan pestisida yang dianggap lebih bagus. Pendapat para petani di daerah saya, di Dusun Sidayu Nyuhaya, Desa Takmung, Banjarangkan, Klungkung, Bali, “Kalau tidak menggunakan pupuk sintetis hasilnya tidak akan bagus.”

Saya sebagai anak petani yang sering melihat situasi sawah, kadang bertanya, “Pupuk yang dipakai ‘kan untuk nutrisi tanaman, nah berarti tanaman tersebut mengandung bahan berbahaya, dong? Selama ini berarti tidak ada makanan yang ditanam sehat? Jika beralih ke organik, mereka tidak akan percaya tanaman yang mereka tanam akan menghasilkan karena sudah terlanjur berpikir bahwa organik itu tidak akan menghasilkan panen yang melimpah.” 

Saya juga sempat berpikir, pakai pupuk organik tanaman malah mati dan menguning? Hal ini karena pupuk yang dipakai adalah pupuk organik yang disebarkan oleh pemerintah, hal ini yang pernah dialami oleh tetangga saya. Fakta semacam ini membuat warga yang bekerja sebagai petani tidak terlalu percaya dan peduli dengan pupuk organik. Selama menghasilkan, itu sudah bagus buat mereka karena kebutuhan mereka bergantung dari hasil panen.

Banyak yang belum mengetahui tentang bahan alami untuk pupuk dan pestisida nabati (pesnab), sehingga kalau sudah bilang pupuk organik pasti mengacu pada penggunaan kotoran hewan (kohe) saja. Tentu, jika menggunakan kohe saja hasilnya tidak akan maksimal. Menurut Ni Wayan Sarni (59), petani asal Klungkung, “Kalau menggunakan metode organik saat tanaman terserang hama, tidak ada pesnab yang bisa mengusir hama tersebut, jadi mau tidak mau akan kembali menggunakan obat kimia sintetis. Alasan orang tidak menggunakan organik karena tidak punya bahannya, tidak sempat buat, kurang tahu ilmunya dan susah dibuat, jadi lebih baik beli pupuk yang sudah jadi dan lebih praktis,” kata Wayan Sarni.

Sejak saya mengikuti Pusaka Indonesia dan belajar metode Sigma Farming, saya baru mengetahui bahwa selama ini kita hanya mengambil unsur hara di tanah melalui tumbuhan yang kita tanam tanpa mengembalikan kembali ke tanah sehingga lama kelamaan unsur tanah akan hilang, belum lagi pupuk sintetis yang kita sebarkan tentu akan lebih merusak tanah. Parahnya lagi, tanaman akan sulit hidup di tanah tersebut. Orang tua di desa saya sering berkata, “Dulu di sini tanahnya bagus, jadi apa saja yang ditanam pasti akan subur, tapi sekarang sudah mulai menurun kualitasnya.” Dari sini saya melihat bahwa mereka beranggapan jika di sini sawah subur, maka akan terus subur. Nyatanya tanpa mengembalikan kembali zat hara pada tanah akan menurunkan juga kualitas tanah dan hasil panen, sehingga berdampak juga pada kualitas tanaman yang kita makan.

Sigma Farming merupakan teknik pertanian yang selaras dengan alam. Selama belajar Sigma Farming, saya baru mendapatkan pemahaman, ternyata tanah dulu yang harus dipulihkan, nanti hasil tanaman akan mengikuti. Kuncinya adalah tanah yang sehat. Saat ini, tanah kita sudah tidak sehat karena sudah sangat dirusak oleh pupuk sintetis, untuk itu melalui Sigma Farming, dikenalkan tentang amunisi penyubur tanah, yakni:

Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma 1

Bakteri Pemulih Tanah (BPT) Sigma 2

Selain itu, saya juga belajar membuat kompos seperti BD kompos, kompos rumah tangga, dan sebagainya. Saya baru mengetahui bahwa tanaman di sekitar kita bisa dijadikan bahan plantonik, seperti daun lamtoro, rumput laut sargassum, dan lainnya. Plantonik ini berfungsi untuk meningkatkan imunitas tanaman. Ada juga pestisida alami, yaitu fermentasi Eco Enzyme (EE) yang dicampur bawang putih, daun cemara udang, dan daun lateng. Untuk produktivitas buah/bunga, digunakan limbah protein yang difermentasi menggunakan gula merah yang dikenal dengan nama Asam Amino (AA).

Masih banyak lagi amunisi Sigma Farming lainnya, yang mudah didapatkan dan murah karena sebetulnya merupakan limbah yang dibuang. Namun, bagi petani Sigma Farming, limbah tersebut adalah ‘harta karun’. Unsur pemanfaatan limbah ini membuat modal yang digunakan juga sangat minim sehingga tidak ada namanya petani menderita gara-gara pupuk yang sangat mahal.

Hasil panen yang dihasilkan juga terasa lebih enak dan pastinya lebih sehat. Saya sudah mencoba sayur sawi dan kacang tanah ala Sigma. Rasa dari sawi tersebut sangat enak, renyah, dan kenyal-kenyal, begitu pun dengan kacang tanahnya, manis dan memiliki tekstur yang lembut. 

Jadi, anggapan bahwa metode organik tidak membawa hasil yang bagus itu tidak tepat. Melalui metode Sigma Farming ini kita diajak untuk bekerja selaras dengan alam, memuliakan Ibu Bumi dengan memulihkan tanah yang rusak, dan juga dapat menyediakan pangan sehat dan  berkualitas.

 

Penulis Ni Komang Diah Arnila Kartika Sari

Peserta Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka Muda, Bali

Kader Pusaka Pusaka Indonesia Wilayah Bali