Masa kanak-kanak adalah masa yang menyenangkan. Hidup lebih banyak berfokus untuk sekolah dan bermain bersama teman. Tidak jarang saat berinteraksi dengan lingkungannya, anak-anak menjadi hiperaktif dan penuh tanda tanya. Seperti yang dialami Nabila Nurfatkhiyah saat kecil, ia juga hiperaktif, bahkan terlampau hiperaktif. Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau sebuah gangguan neurologis sebagai penyebab tidak bisa fokus, hiperaktif, dan bertindak impulsif yang dialaminya tidak meruntuhkan mimpinya untuk mendirikan yayasan kemanusiaan, sebuah sekolah inklusif bagi seluruh anak-remaja tanpa batas. Bagaimana kisahnya?
Nabila dan Sancaya Indonesia
Matahari kembali menyinari setiap sudut yang ditemukannya, termasuk celah pintu yang kian terbuka untuk menyambut setiap orang yang hendak masuk. Meskipun masih pagi, sudah ada beberapa anak yang menggenggam mainan sedang duduk manis di atas tikar hijau. Rupanya tempat itulah yang menjadi area salah satu kegiatan bersama di Sancaya Indonesia, sebuah sekolah inklusif di Pandak Gede, Tabanan, Bali. Sekolah inklusif ini tidak hanya menyediakan area bermain, namun juga belajar secara nyata dan apa adanya.
Keberadaan Sancaya Indonesia tidak lepas dari keberadaan Nabila Nurfatkhiyah, seorang guru sekaligus pemberdaya kemanusiaan anak-anak. Sejak kecil, Nabila merasa mengalami ketidaksetaraan dan tidak dimengerti oleh lingkungan sekitarnya. Beranjak dewasa, Nabila mulai mengulik dunia pendidikan untuk mengetahui sistem-sistem pendidikan yang ada. Ia menimba pengalaman sebagai guru yang mengajar di berbagai sekolah dan kurikulum, sampai akhirnya berlabuh di Special Need Department, Sekolah Internasional di Canggu, Bali. Dengan mengabdikan dirinya sebagai guru di sana, Nabila menjadi paham seluk-beluk anak special need (berkebutuhan khusus) itu seperti apa.
Nabila mengungkapkan bahwa pada usianya yang ke-30 tahun, kondisi tubuh yang tidak dimengertinya sejak kecil kemudian terungkap saat ia datang ke psikolog. Nabila mendapati Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sudah ada pada dirinya sejak kecil. Ia teringat bahwa ADHD yang berada lama dalam dirinya membuatnya merasa tidak diterima, bahkan guru-guru sekolahnya dulu tiada henti memarahinya. Oleh karena itu, ia merasa bahwa sistem pendidikan pada saat itu tidak manusiawi untuk kondisi dirinya. Sistem pendidikan tersebut kemudian berlanjut hingga kini dan ia merasa tidak ada keadilan bagi anak-anak lokal jika dibandingkan dengan sistem sekolah internasional, tempat ia mengajar.
Berdasarkan perjalanan yang dialaminya, Nabila berkeinginan untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak lokal. “Aku tergerak karena aku special need (berkebutuhan khusus) dan seorang guru agar anak-anak lokal mendapat sistem pendidikan yang bagus,” ujar Nabila dengan sedikit penekanan. Demi sistem pendidikan yang diinginkannya, Nabila memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya dan mengajar Bahasa Indonesia di sebuah platform online dengan bayaran yang tidak sedikit. Dengan total mengajar 2000 kelas, Nabila berhasil menabungkan uangnya untuk membangun sekolah. Di sisi lain, muridnya yang mengetahui bahwa Nabila ingin membangun sekolah pun ikut membantu.
Dengan kebulatan hatinya, Nabila berhasil membangun perlahan sebuah sekolah inklusif, Sancaya Indonesia, bagi anak-anak yang ingin belajar tanpa batas. Awal pembangunan Sancaya Indonesia dimulai dari kelas-kelas, ruang terapi, dan sebagainya. “Masih jauh dari sempurna, tapi on progress,” ungkap Nabila yang meyakini bahwa pepatah perlahan tapi pasti benar adanya. Tidak mudah untuk sekadar mendirikan ruang per ruang di Sancaya Indonesia. Nabila menyiratkan bahwa sistem pendidikan yang layak diterima anak-anak lokal perlu penanganan dari orang yang berkualitas. Oleh karena itu, Nabila kembali memutar otak untuk mencari solusi supaya mimpinya ini dapat berdiri nyata.

Para murid praktik membuat Eco Enzyme
Sancaya Indonesia yang menyediakan pembelajaran bagi anak-anak lokal itu kemudian menjadi tempat yang kian digemari. Di dalamnya dilengkapi dengan tiga kelas, ruang konseling, klinik atau ruang terapi bagi anak-anak special need (berkebutuhan khusus), community kitchen, pertanian sigma di kebun surgawi, dan lainnya. Selain itu ada juga program seperti Sunday Service yakni kegiatan rutin setiap murid untuk kerja bakti, Sunday Market yakni pasar produk organik dan homemade product yang bahan bakunya berasal dari kebun surgawi, serta panen eco enzyme sebagai salah satu solusi penanganan sampah organik di sana.
Lebih Dalam Mengenal Sancaya

Pembelajaran di Sancaya Indonesia
Saat mata memandang ke dalam Sancaya Indonesia, terlihat sebuah tempat di bawah pohon rindang yang seolah menjadi area favorit setiap anak untuk membaca buku dan bermain bersama. Setiap anak bisa membaca buku sesuai apa yang ingin dibacanya tanpa ada pembatasan. Begitu juga halnya ketika bermain, anak-anak diberi kebebasan untuk mengeksplor apa yang akan dilakukan. Area tersebut sudah dilengkapi dengan beberapa bilah tikar, mainan anak-anak, dan stand buku.
Menelisik jauh ke dalam, terdapat kebun surgawi yang menjadi tempat produktif bagi anak-anak untuk bercocok tanam berbagai rempah, sayur, dan buah-buahan. Misalnya pada rempah, di sana anak-anak akan diajarkan bagaimana bentuk sebuah rempah, isinya, teksturnya, hingga cara menanamnya di lahan yang terbatas. Anak-anak yang diajarkan berbalik antusias dengan pemahaman yang baru diterimanya. Mereka berjejer rapi dengan dipandu seorang guru menuju kebun surgawi dan dengan cermat melaksanakan apa yang diajarkan gurunya.
Hasil dari kebun surgawi tersebut kemudian akan diolah di community kitchen. Anak-anak pun ikut andil dalam mengolahnya. Nabila mengungkapkan bahwa anak-anak dapat mengolah dengan bimbingan dan memakannya gratis. Selain dapat diolah dan dimakan langsung, bahan baku tersebut dapat dijual di stand Sunday Market yang berdekatan dengan pintu masuk Sancaya Indonesia.
Kehidupan di Sancaya tentunya tidak selalu berjalan mulus. Ada banyak sekali rintangan dalam menghadapi semua karakteristik anak-anak. Menginjak usia yang hampir ke-6 tahun di 2024, Sancaya Indonesia yang dipimpin oleh Nabila menetapkan bahwa orang yang tulus dalam misi kemanusiaan meski sedang bekerjalah yang dibutuhkan Sancaya Indonesia. Nabila beralasan bahwa anak-anak yang datang sudah dalam kondisi batin yang parah, karenanya membutuhkan guru yang memiliki kesabaran yang tinggi dan menerima apa adanya. Selain itu, ia juga menetapkan program pembelajaran yang mengukur pemahaman anak-anak. Dalam satu minggu, anak-anak memiliki satu proyek yang akan dialami langsung lalu disimpulkan mandiri dalam bentuk worksheet. Meski begitu, anak-anak memiliki jadwalnya sendiri yang disesuaikan dengan kondisinya.
Semua hal tersebut bisa didapatkan anak-anak hingga umur 18 tahun. Dengan adanya perbedaan umur, Sancaya Indonesia tidak mengajarkan kompetisi, namun kolaborasi. “Di sini dibutuhkan kolaborasi, bukan mengalahkan orang untuk merasa lebih baik,” perjelas Nabila sembari tersenyum. Begitulah kisah Nabila dalam mengawali mimpinya yang tulus bagi anak-anak yang perlu bimbingan halus. (*)
*Ni Putu Ayu Ary Arsani
Peserta Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka Muda