- Judul Buku: Sejarah Rempah (Dari Erotisme Sampai Imperialisme).
- Penulis: Jack Turner (terj).
- Penerbit: Komunitas Bambu
- Cetakan: September 2011
- Tebal: 380 halaman.
- Resensor: Riky Ferdianto
Tahun 1503 Columbus pernah menulis, “Saya berani mengatakan bahwa Hindia adalah wilayah terkaya di dunia ini. Saya bicara tentang emas, mutiara, batu berharga, dan rempah-rempah…” Itu sebabnya Jack Turner menulis, “Setelah tahun 1500, tidak ada lagi lada yang dapat dimiliki di Kalikut tanpa adanya pertumpahan darah.”
Dalam esai tentang sejarah umum, perilaku dan semangat hidup negara, tahun 1756, penulis Voltaire jelas tidak sedang membual. Dalam sejarahnya, rempah merupakan sumber konflik yang tak jarang harus diperebutkan dengan bayaran nyawa. Konflik itu merentang luas melibatkan kelompok masyarakat ataupun atas nama hegemoni negara.
Hikayat tentang nasionalisme Indonesia bisa membuktikan itu semua. Betapa Bumi Nusantara yang kaya akan rempah-rempah ini pernah membuat Barat silau dan merasa harus melancarkan praktik kolonialisme silih berganti hingga berabad-abad lamanya.
Eksotisme rempah jugalah yang menghidupkan denyut nadi Kota Venesia sebagai jantung perekonomian Eropa pada abad pertengahan. Maka tak mengherankan jika para pedagang kala itu yang banyak mengarahkan kapal niaganya menuju ad loca aromatum atau tempat rempah-rempah berada.
Dokumentasi bangsa Catalonia pernah mencatat kekonyolan Christopher Columbus. Suatu hari pada April 1493, di Salo del Tinell, ruang perjamuan besar di Barri Gotic (kini bagian dari Barcelona), ia berdiri dengan gagah dan wajah semringah. Setelah berlayar melewati jalur barat, Columbus sesumbar bahwa ia telah menemukan Hindia, kepulauan yang kaya akan rempah dan emas, yang konon jumlahnya melampaui imajinasi manusia yang paling liar.
Sejumlah emas, burung kakatua, dan orang-orang Hindia ia pamerkan sebagai bukti. Begitupun dengan rempah-rempah, seperti lada dan kayu manis. Dewan kehormatan Kerajaan Spanyol seketika terpesona, bingung, sekaligus iri. Di kemudian hari baru diketahui bahwa pulau yang ia temukan ternyata sebuah benua baru bernama Amerika. Lada yang dipamerkan ternyata cabai.
Tapi penemuan Columbus itu membawa implikasi bagi persaingan geopolitik duopoli Spanyol-Portugis. Klaim keduanya atas perluasan wilayah memaksa Paus Alexander VI turun tangan. Keduanya lalu berunding dan menandatangani perjanjian Tordesillas. Keputusannya: semua tanah yang baru ditemukan di sebelah barat garis bujur yang terletak sekitar 555,6 kilometer dari Kepulauan Cape Verde merupakan hak Spanyol, sedangkan di timur garis itu milik Portugis.
Persoalan kembali runyam ketika keduanya mengklaim wilayah penghasil jenis lada dan pala termahal di dunia: Maluku. Portugis yang melepaskan jangkar di Maluku pada 1512 merasa berhak mengklaim. Namun pelayaran Ferdinand de Magellan pada 1521 menyimpulkan Maluku merupakan wilayah sah Spanyol. Lalu Spanyol mengajukan solusi. Mereka rela melepas Maluku, asalkan Portugis membayar klaim atas wilayah tersebut 350 ribu dukat.
Itulah penggalan kisah yang diangkat Jack Turner dalam buku Sejarah Rempah, Dari Erotisme sampai Imperialisme. Dalam versi aslinya, buku ini diterbitkan oleh Vintage Books pada 2005 dengan judul Spice: The History of A Temptation.
Lewat buku ini, Turner berhasil mengangkat rentetan kesalahpahaman ihwal rempah pada masa lalu, dan menceritakan kembali berbagai pernik perburuan rempah secara mendetail. Karyanya dikemas melalui gaya narasi sastra yang menggelitik dan sarat akan kritik. Sangat renyah.
Turner seolah menegaskan anggapan bahwa rempah-rempah memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh penting dunia, dari Firaun Ramses, Yesus, Ibnu Sina, Marco Polo, Columbus, hingga Vasco da Gama. Rempah tidak hanya menjanjikan ekstase dalam sajian kuliner, tapi juga sisi erotika manusia dan khasiatnya mengobati sejumlah penyakit. Rempah pun mampu mengubah peta politik dunia dan membuka tabir selubung embrio imperialisme. Buku Turner memaparkan semua itu dengan gamblang.
Namun banyak kalangan mengkritik cara pandang Turner yang sangat Eropa Sentris. Hampir seluruh rekonstruksi sejarah ia bangun dari fakta-fakta yang terjadi di seputar aktivitas kebudayaan orang Eropa. Padahal hubungan ekonomi rempah dengan Eropa sekitar abad ke-16 hanya mencapai 25 persen dari total perdagangan lada di Asia. Pada periode yang sama, dari sekitar 6.000 bahara (ukuran berat) lada yang diperdagangkan di Malaka, sebagai salah satu pusat ekonomi rempah dunia, hanya 5 persen yang mencapai Eropa.
Pendekatan Turner ini pada gilirannya menempatkan cerita masyarakat penghasil rempah hanya sebagai bumbu penyedap. Identitas kebudayaan mereka nyaris diabaikan. Begitupun dengan Nusantara, “surga” yang diimpikan Columbus dalam setiap ekspedisi pelayarannya. Padahal, pada masanya, Kerajaan Sriwijaya pernah memegang kendali atas jalur perdagangan vital di Selat Malaka hingga berabad-abad lamanya. Bagaimanapun buku ini layak dijadikan sumber referensi yang otoritatif.(*)
sumber foto: Komunitas Bambu