Saat ini pertanian menjadi suatu masalah yang krusial. Perkembangan pembangunan yang begitu pesat, membawa banyak dampak dalam sektor pertanian. Perkembangan ini dibarengi dengan geliat pariwisata. Hal ini tentu memerlukan lahan yang luas untuk pembangunan seperti hotel, vila, dan restoran.
Contohnya, Ubud, kawasan yang terkenal di Bali akan pariwisata dan keseniannya. Ketika kami mengikuti kegiatan Kelas Menulis Jurnalisme Pusaka Muda yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 24 Maret 2024 lalu di Villa Golden Phoenix, yang berlokasi di Lodtunduh, Ubud, di sekitarnya terlihat vila-vila. Namun, hal yang menarik perhatian kami, yaitu banyaknya lahan tidak terawat di kawasan yang sudah terkavling. Hal ini membuat kami semakin penasaran mengapa lahan tersebut tidak digarap saja.
Setelah berkeliling dan bertanya kepada warga setempat, ternyata banyak yang sudah menjual lahan mereka sendiri. Salah satunya, Nyoman Gemblong (75 th), yang mengaku alasannya menjual lahan karena masalah keuangan keluarga yang ia hadapi. Beberapa orang lain juga menceritakan hal serupa. Walaupun di antara mereka ada yang memiliki sawah, tapi mereka sudah tidak menggarap lahannya karena mereka lebih memilih pekerjaan yang lebih cepat menghasilkan dan terjamin. Misalnya, bekerja di hotel, vila, resto, atau membuka toko.
Menurut salah seorang warga, menjadi petani memiliki banyak risiko, kadang-kadang pengeluaran lebih besar daripada pemasukan, hal ini dikarenakan harga pupuk yang begitu mahal. Belum lagi kalau ada hama yang menyerang, sehingga jumlah pengeluaran makin meningkat dan cuaca yang tidak bisa diprediksi.
Mengetahui hal tersebut, sangat wajar mengapa warga di sana mau menjual tanah mereka sendiri. Namun, jika kondisi semacam ini terjadi secara masif, apa yang akan terjadi di masa mendatang jika akhirnya semua lahan disulap menjadi bangunan, darimana kita menghasilkan pangan? Hal ini yang kurang diperhatikan oleh masyarakat, mereka lebih melihat hasil yang mereka dapatkan sekarang daripada jangka panjang.
Seiring peningkatan jumlah vila dan restoran yang membutuhkan tenaga kerja, membuat tak sedikit warga juga akhirnya memilih beralih profesi, dari penggarap lahan ke pekerja industri pariwisata. Fenomena inilah yang sedang terjadi di Ubud. Muhammad Alwi, salah seorang warga lokal yang kami temui, mengaku sudah tinggal di Ubud sejak 1991. Ia menyaksikan perubahan signifikan dalam lanskap ekonomi daerah tersebut. “Saya melihat adanya perubahan yang cukup pesat, seperti jumlah vila yang terus meningkat dan menarik banyak wisatawan,” ujarnya.
Ketiadaan lahan mempengaruhi jumlah petani, dan sebaliknya, menurunnya minat di bidang pertanian membuat luas lahan pertanian makin berkurang. Keputusan para warga untuk beralih profesi dari petani ini nantinya dapat menyebabkan berbagai macam dampak bagi para warga. Yakni, menurunnya produksi pangan yang selanjutnya akan berdampak pada kenaikan harga bahan pangan. Di sisi lain, banyaknya vila dan restoran yang membuka semakin banyak lowongan kerja bagi anak-anak muda di Ubud mempengaruhi penilaian pemuda tentang pertanian.
Pandangan anak muda terhadap para petani dapat bervariasi tergantung pada pengalaman, latar belakang, dan persepsi individu. Para generasi muda sebagian bisa menghargai kerja keras dan dedikasi petani dalam menyediakan makanan bagi masyarakat, sementara sebagian mungkin kurang memperhatikan kontribusi mereka. Sebagian menganggap bahwa pekerjaan di bidang pertanian adalah sesuatu yang tidak membanggakan, tidak keren, atau masih dianggap hal kecil. Begitu mereka mendengar kata “pertanian” yang terlintas dalam pikiran mereka hanya petani-petani kecil dan miskin. Padahal “pertanian” tidak hanya tentang mencangkul, bercocok tanam yang langsung turun di lapangan menghadapi panasnya terik matahari.
Selain itu, faktanya, taraf kesejahteraan petani dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang menguntungkan dalam hal pendapatan. Padahal, kebutuhan utama manusia dapat terpenuhi atas jerih payah para petani yang berusaha menyediakan sumber pangan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2022, dari 135,3 juta penduduk yang bekerja, 29,96 persennya bekerja di sektor pertanian. Angka tersebut menginformasikan kalau jumlah petani negara kita mencapai 40,64 juta orang atau sekitar 17% dari total penduduk Indonesia, dan trennya kian menurun.
Menurut catatan (BPS per 2021), persentase pemuda usia 16-30 tahun yang bekerja di sektor pertanian, kini hanya ada 3,95 juta petani muda yang termasuk generasi milenial, atau 21,9% dari total petani di Indonesia. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dalam kurun waktu 10-20 tahun ke depan, profesi petani tidak akan ada dan krisis pangan akan terjadi. Jangan sampai di tanah kelahiran kita sendiri kita malah menderita karena keputusan yang telah kita buat.
Penulis: Ni Komang Diah Arnila Kartika Sari, Dewa Ayu Windia Kartika Cahyani, Ni Luh Wahyu Erniasih, Bhujangga Putu Gede Adi Wijaya, Made Chessya Anjani Dewi Sawitri, Ni Kadek Kirana Wulan Syaharani.
Tulisan tersebut dihasilkan dari Kelas Jurnalisme Pusaka Muda untuk Pelajar SMA dan Mahasiswa Bali yang diselenggarakan oleh Pusaka Indonesia pada 17 dan 24 Maret 2024 di kawasan Ubud, Gianyar.