Di tengah modernitas yang semuanya bergerak serba cepat, pergerakan infiltrasi budaya menjadi salah satu tantangan tersendiri. Betapa anak-anak muda, terutama generasi Z, seakan lebih gampang terpesona dengan budaya asing ketimbang budaya luhur yang telah diwariskan secara turun-temurun. Penyebaran informasi lewat media sosial membuat generasi muda seakan lebih mengenali tradisi Barat hingga Korea ketimbang seni tradisi bangsa sendiri.
Kabar baiknya, di tengah tantangan tersebut, masih ada segelintir anak muda yang memiliki semangat dan kepedulian untuk terus melestarikan dan memperkenalkan seni tradisi dan budaya luhur Nusantara. Salah satunya adalah I Kadek Cahya Adi Wardana, Kader Pusaka Indonesia yang sekaligus merupakan Koordinator Sanggar Seni Pusaka Wilayah Bali.
Dalam Obrolan Komunitas RRI Pro 1 Jakarta dengan tema ‘Mengenalkan Seni Tradisi kepada Generasi Muda Bali’ pada pada 4 Juli lalu, Cahya berbagi cerita dalam usahanya mengenalkan seni tradisi kepada generasi muda di Bali.
Cahya, Representasi Kaum Muda Bali yang Bertekad Melestarikan Seni
Lahir di tengah keluarga yang menggeluti seni tradisi, secara natural tentu membuat Cahya tidak asing dengan keanekaragaman seni yang ada di Bali. Cahya memilih menekuni seni tari dan gamelan didasari alasan yang kuat. “Memang di masyarakat hal-hal ini dibutuhkan dalam upacara keseharian maupun bagaimana melestarikan seni pertunjukkan kepada banyak orang,” jelasnya. Cahya belajar seni tari dan musik secara nonformal.
Bagi Cahya, seni tradisi adalah warisan yang memiliki nilai luhur dan filosofi hidup, serta mengandung kebijaksanaan lokal dan nilai-nilai spiritualitas. Dalam membahas seni tradisi, menurut Cahya, kita tidak hanya berbicara bagaimana kita merawat akar budaya agar tidak tercerabut dari akarnya, namun juga bagaimana kita menghidupkannya kembali agar kita sebagai bangsa, tidak kehilangan jati diri.
Baca juga: Tari Pendet dan Musik Etnik Akustik, Persembahan dari Bali untuk Dunia
Di Bali sendiri, setiap adat memiliki kegiatan seni yang relevan untuk dijalankan, maka menjadi penting untuk mengenalkan seni tradisi ini kepada generasi muda karena mereka adalah pewaris. Pulau Bali memang tidak hanya terkenal karena alamnya yang indah, melainkan juga kekayaan budaya yang telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan lokal dan mancanegara. Akan tetapi, dapatkah warisan budaya ini bertahan di tengah modernitas dan derasnya budaya populer?

Kader Pusaka Indonesia Wilayah Bali sedang berlatih tari Puspawresti
Mengapa Generasi Muda Harus Turut Serta Melestarikan Seni Tradisi?
Cahya sadar bahwa generasi muda adalah generasi penerus. “Generasi muda inilah yang akan menentukan seni tradisi ini akan terus hidup, atau akan menjadi arsip sejarah saja,” ungkapnya. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa mengenalkan seni tradisi tidak cukup dengan hanya belajar teori di sekolah. Sebab jika kita berbicara seni, maka kita memang harus mengajak generasi muda untuk betul-betul mengalami, seperti bagaimana menari, bagaimana memainkan alat musik, dan bagaimana menulis dengan aksara Bali.
Hal-hal tersebut bagi Cahya harus dipraktikkan secara langsung oleh generasi muda, untuk menumbuhkan pemahaman dan rasa kepemilikan tentang identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat Bali jika dilihat secara kewilayahan, maupun sebagai budaya Nusantara jika dilihat secara kenegaraan dan kebangsaan. Dengan mengalami atau praktik seni tradisi secara langsung, maka generasi muda akan semakin sadar jati dirinya.
Tantangan di Era Globalisasi
Tantangan dalam melestarikan seni tradisi juga beragam, salah satunya adalah anggapan generasi muda terhadap seni tradisi yang dirasa kuno, tidak populer, dan tidak relevan. Maka dari itu peran guru, seniman, dan komunitas, seperti Pusaka Indonesia menjadi sangat penting untuk selalu menyuarakan dan membuat program dengan kemasan yang menarik dan relevan dengan karakteristik generasi muda, namun dengan tetap tidak menghilangkan makna dan jati diri.
Baca juga: Aksi Kreatif Sanggar Seni Pusaka Indonesia Bali: Limbah Plastik jadi Properti Seni yang Estetik
Selain itu, tantangan juga datang dari internal di mana para penggiat seni di Bali memiliki pandangan yang berbeda dalam melestarikan seni tradisi. Ada yang berpendapat bahwa seni tradisi harus dijalankan sesuai pakem yang sudah ada dari dulu. Yang lain berpendapat bahwa seni tradisi bisa dimodifikasi agar bisa tetap relevan sesuai zaman. Namun, bagi Cahya, isu tersebut tidak menjadi sebuah masalah, karena inti dari pelestarian seni tradisi adalah kita tetap merawat kesenian itu agar tetap lestari. “Bisa dijalankan sesuai pakemnya, bisa juga dijalankan dengan cara yang sudah dimodifikasi,” ujarnya.
Peran pariwisata di Bali sendiri, turut memiliki dampak yang signifikan terhadap pelestarian seni tradisi. Seni tradisi itu dapat menjadi atraksi bagi wisatawan, yang memberi dampak positif bagi perekonomian. Tapi Cahya menilai bahwa melestarikan seni tradisi tidak hanya bisa terpaku dari nilai ekonominya saja. “Yang penting adalah bagaimana cara kita menghayati, mendalami seni itu dalam keseharian, menjadikannya sebagai jalan hidup, dan bagaimana kita menikmati hidup dengan kesenian tersebut,” ungkapnya.
Peran Pusaka Indonesia dalam Melestarikan Seni Budaya
Perkumpulan Pusaka Indonesia di Bali sendiri secara konsisten turut melakukan aksi untuk melestarikan seni tradisi. Bahkan, Sanggar Seni Pusaka di Bali pernah mendapatkan kehormatan untuk menampilkan tarian dalam acara 8th Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) Media Summit yang diselenggarakan di Bali pada 6 Agustus 2024 lalu. Selain itu, ada beberapa undangangan pernah diterima untuk mengisi acara charity run yang ditonton banyak wisatawan asing.
Sanggar Seni Pusaka Indonesia wilayah Bali juga mengadakan pelatihan tari secara rutin seminggu sekali di Rumah Pusaka Indonesia (RPI) Ubud. Pelatihan tari ini terbuka untuk umum tanpa batasan usia, bahkan bagi yang baru memulai belajar dari nol. Selain itu, Pusaka Indonesia Wilayah Bali juga memiliki perhatian terhadap pelestarian aksara Bali. “Bangsa kita memiliki kekayaan aksara, termasuk Bali,” tutur Cahya
Sebagai penutup, Cahya mengungkapkan harapannya agar seni tradisi ini tidak sekedar bertahan, tetapi juga berkembang dan menginspirasi cara hidup generasi muda. Cahya juga berharap akan lebih banyak dukungan dari keluarga, komunitas, dan sekolah untuk memberi ruang bagi seni tradisi ini di kurikulum pembelajaran. Yang terpenting, seni tradisi ini tidak hanya dipelajari, tapi juga dicintai, dibanggakan, dan diwariskan pada generasi penerus. Menurut Cahya, kita semua bisa menjadi bagian dari pelestarian ini dengan datang ke pertunjukan seni tradisi, mengajak anak-anak ikut sanggar seni, atau sekadar menceritakan kisah tentang tari-tarian Nusantara yang menjadi identitas kebangsaan. “Karena seni tradisi yang terus hidup di generasi muda, akan menjadikan warisan ini terus menyala,” pungkasnya.
Tya Sumarsono
Koordinator Sanggar Seni Pusaka Indonesia Yogyakarta